"Regis, Rai kemana?" Mata lelaki dengan plester di hidungnya itu memindai penjuru rumah kepseknya. Ini bukan kali pertama Rai tidak sekolah. Rasanya dia beberapa kali tidak sekolah dan setiap kalinya dia akan izin untuk waktu yang cukup lama.
"Rai kembali ke tanahnya." Jawaban singkat itu cukup membuat anak-anak itu paham.
"Pak Kepsek juga?"
"Pak Kepsek menemani Rai pulang." Seira tersenyum pada Shinwu, cukup membuat pipi Shinwu terasa terbakar. Mungkinkah ini rasanya diberi senyuman oleh gadis tercantik yang pernah ditemuinya? Apalagi Seira jarang sekali tersenyum. Kebanyakan wajahnya datar-datar saja. Bahkan ketika menghadapi Rael, lelaki yang diceritakan Regis melamar Seira namun ditolak mentah-mentah dengan alasan Rael bukan tipenya. Dan lagi Seira mengatakannya dengan wajah datarnya itu.
"Lihatlah itu. Mungkinkah Shinwu...," Sui yang menyaksikan kejadian itu berbisik pada Yuna.
"Shinwu, mungkinkah Seira tersenyum pada...mu?" Ikhan yang berbisik, pipi Shinwu semakin memerah. Lelaki itu tampak salah tingkah.
"Regis, katamu kakak Rael dan Karius datang hari ini?" Mata Shinwu berbinar. Seperti biasa, Regis menjawab dengan angkuh.
"Ya."
"Bagaimana kalau kita adakan hari cowok jomblo lagi?" Shinwu berseru antusias, sementara Ikhan menatapnya tidak setuju.
"Tidak bisa. Rai harus ikut."
"Uh.. ya.. itu benar. Kalau begitu kita tunda saja." Dengan berat hati Shinwu mengiyakan, meski tampak tak rela, ada benarnya juga yang dikatakan Ikhan. Hari cowok jomblo memang tidak lengkap tanpa kehadiran Rai, meski yang dilakukannya hanya diam, menyimak, atau menyesap tehnya. Dia hanya tertarik pada ramyeon.
"Berapa lama kali ini mereka akan pergi?" Ikhan baru saja menyalakan laptopnya. Hari ini mereka tidak bermain ke PC room. Tidak ada alasan khusus mengapa mereka tidak melakukannya. Hanya sedang tidak ingin saja.
Um.. bukankah itu terdengar seperti kata-kata seseorang?
-&-
Pesawat itu mendarat dengan benar. Baru kali ini sepertinya terjadi. Biasanya mereka tidak pernah mendarat dengan benar sehingga harus melompat dari pesawat dan membiarkan pesawat itu jatuh dari ketinggian beratus meter.
Itu sebabnya mengapa mereka sudah kehilangan 4 pesawat. Empat pesawat bukanlah jumlah yang cukup banyak untuk Frankenstein. Lagipula, hartanya sudah banyak. Dia tidak mau menimbun hartanya lagi.
"Tuan," Frankenstein sedikit membungkukkan tubuh jangkungnya. Lalu dengan sopan pria itu melanjutkan,"biar aku tunjukkan jalannya."
Menyusuri jalan raya lalu beralih ke dataran tinggi, lalu ke jalan setapak. Jalan yang mereka lalui cukup jauh. Jauh sekali sebenarnya kalau mereka menempuh perjalanan normal. Tapi buat apa melakukan itu kalau mereka bisa terbang?
Dari kejauhan, keduanya dapat melihat kobaran api yang membakar kastil tua. Tapi di mana orang-orang? Kenapa tidak ada yang menyadari bahwa ada bangunan yang terbakar? Frankenstein sangat penasaran dengan hal itu.
Berhasil mendarat dengan mulus, keduanya segera masuk ke dalam kastil tua itu. Kobaran api hanya menjadi latar dua punggung tegap memasuki kastil itu.
-&-
"Apa yang harus kulakukan?" Matanya menyorot pasrah. Berjam-jam duduk di tempat yang sama, tidak menumbuhkan ide apapun dalam kepalanya.
Kembali ke Lukedonia? Sayang sekali aku tidak tahu di mana letaknya..
Gadis itu mengembuskan napas kasar lalu mengerang frustasi. Memang siapa yang tahu letak Lukedonia di sini? Tidak ada, dia yakin sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Noblesse : Consanguine
FanfictionKetika hubungan darah sudah tidak lagi diperlukan CONSANGUINE