Prolog

233 37 29
                                    

Saat orang lain mengirimi paket aksesoris atau sejumlah uang di Kantor Pos,

Ia mengirimiku malam, lengkap dengan bintang-bintang di dalamnya. - Prolog.


Letters to Levia Project

Fearness · Endless Heart Battle · Hope   

Get closer and be our team:

DM Instagram : @tommipringadi

Join group WhatsApp & LINE

Update tiap hari senin.

***


Kepada Seseorang,


Ke mana saja kamu selama ini?

Apa saja yang kamu lewati?

Tahukah kamu, aku selalu berjalan dengan ketakutan?

Aku tidak tahu siapa kamu, 

Tapi aku tahu kamu akan segera menemukanku.


Levia Gloria,

Yang menunggumu segera tiba.

***

[Levia]

Dari balik tembok, suara berisik terdengar, bisa-bisanya mereka tertawa saat tengah bekerja begini. Aku bekerja di Kantor Pos, di saat hujan deras begini, tak ada pengunjung. Aku lebih suka dengan sibuk melayani orang-orang, daripada sepi dan membiarkan isi kepalaku menjadi liar.

Penasaran dengan apa yang terjadi di ruang sebelah, aku menanyakan pada Elina yang baru saja kembali dari toilet.

"Pak Kosim menemukan surat," jawabnya.

"Ha? 2019, emang dia nggak punya WhatsApp?" Aku tak mengira kalau masih ada orang yang memanfaatkan jasa kami hanya untuk mengirim sebuah surat.

"Eh, kata mereka surat ditujukan untuk seseorang bernama Levia," Elina berekpresi seolah menunggu reaksiku.

Itu bukan untukku. Ada banyak sekali nama Levia yang hidup di kota ini! 

Entah sejak kapan, aku menjadi mulai sangat hati-hati pada apa yang disebut harapan. Dan hari ini, aku masih ingin menjauhinya. Semua orang pasti setuju, sebenarnya tak ada satu pun manusia yang mampu menyakiti sesama, harapanlah yang membuat kita merasakan rasa sakit.  

Ketika ada pengunjung pria memasuki ruangan, ia berjalan sangat pelan, waktu seperti melambat. Entah bagaimana, suara decit sepatunya jelas terdengar.

Tidak, jangan ingatan itu lagi! Jangan sekarang! 

Ketika pengunjung sudah tiba di depan kami, Elina memberi isyarat seoalah berkata, "Biar aku urus yang ini."

Tanpa izin dari diriku, kepalaku tiba-tiba memutarkan sebuah ingatan ketika aku masih SMA.

Waktu itu, aku sedang menunggu mini bus untuk pulang. Aku harus segera pulang, ada perayaan ulang tahun Mom di rumah, namun hujan deras menghadangku. Kemudian ada sebuah SUV berhenti, memberi klakson. Perlahan kaca dibuka, dari dalam si pengemudi berteriak, ia berusaha agar suaranya lebih tinggi daripada suara hujan, "Bis itu nggak masuk ke perumahan, kamu akan basah. Ayo masuk!" Ternyata itu Gavin.

Membayangkan Mom menunggu di rumah, omelan tak berkesudahan ketika aku kedapatan kebasahan oleh Dad, membuatku tak punya pilihan. Aku masuk.

"Aku tahu rumah kamu, jadi nggak usah coba membimbing soal arah ya."

"Okay," jawabku pelan, terlalu kaku. Tunggu, bagaimana bisa dia sudah tahu rumahku? Aku, Gavin, dan situasi serba canggung di sepanjang jalan. Aku tak nyaman. Daripada membiarkan keheningan, seharusnya ia menceritakan tentang hobi atau di mana ia tinggal, kan? aku tak bisa memulai percakapan, aku ini perempuan.

Mobil berhenti, "Thanks, Gavin," kataku, masih kaku. Di luar adalah rumahku, Mom berdiri membawa payung, lalu berjalan mendekati mobil.

Saat aku membuka pintu, Gavin berkata, "Aku akan selalu melindingimu."

Aku sempat menatap mata sayunya, mata kami beradu untuk beberapa saat. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya menutup pintu mobil, berlari menuju Mom.

Mengingat kejadian ini, seperti ada seseorang menyayat dadaku. Nyatanya, yang paling berat dari sebuah perpisahan bukanlah perpisahan itu sendiri. Melainkan, ingatan-ingatan setelahnya, rasa nyeri yang terus diulang. Perutku mual.

Siang itu, aku menghabiskan jam kerja dengan hati yang seakan dipenuhi lubang. Belum ditemukan cara untuk menambalnya.

***

"Levia. Levia." 

Seseorang mengetuk pintu, memanggil namaku.

Ini pasti Elina, aku memang tinggal berdua dengannya. Kami punya kamar sendiri-sendiri di rumah sewa ini. Aku membuka pintu, apa yang ingin dia bicarakan? Sesaat setelah pintu terbuka, Elina berdiri sambil menenteng sebuah surat.

Surat tadi siang benar-benar ditujukan untukku?

Seperti berhasil membaca raut wajahku, Elina segera berkata. "Aku juga sempat ragu, mungkin itu buat Levia yang lain, tapi setelah dicheck, ini alamat kita. Jadi ya, aku ambil alih ini dari Pak Kosim."

Aku ingin memeriksanya sekali lagi, itu tetap nama dan alamatku. Aku memberikan isyarat agar Elina ke luar dari kamar. Elina pergi, meski wajahnya cemberut. Setelah memastikan kepergiaannya, aku segera membuka surat itu.

Dear Levia Gloria,

Sesuatu menimpa bumi di masa depan. Saya alien dari bintang, robot dari masa depan, dan misi pertama saya adalah; menyampaikan betapa berharganya hidupmu untuk masa depan umat manusia.

Kamu bisa memanggil saya Altair.

P.S: Balas surat ini ke alamat di balik halaman.

Memoriku tiba-tiba mengingatkan pada surat yang kutulis satu tahun lalu, surat yang tak pernah kukirim. Apa Tuhan membuka rahasia surat itu, membocorkan isinya pada seseorang, dan orang itu baru membalasnya sekarang?

Sebelum terjawab, bunyi pintu mengangetkanku, Elina membuat celah kecil di pintu, membiarkan sedikit bagian wajahnya menyembul. "Aheum. Aheum."

Ia berhenti ketika aku melemparkan bantal ke arahnya.

Aku membacanya sekali lagi, berkali-kali lagi, surat itu tetap mampu membuatku tersenyum. Dia mengemas surat ini dengan unik. Bencana masa depan? Robot? Alien? Betapa berharganya hidupku?

Seseorang membuka pintu, membuatku memasuki mode brutal, dengan sigap aku memegang bantal.

"Aheum. Aheum. Dia bikin kamu senyum-senyum segala."

Aku mengayunkan amunisi.

"Wait, wait! nanti tumpah loh! Genjatan senjata, okay?"

Aku baru sadar bahwa Elina memegang minuman, dengan asap yang masih mengepul.

"Sebuah cokelat hangat untuk Lady Levia, calon ratu Inggris masa depan, yang baru saja menerima sebuah surat dari Pangeran dari negeri sebrang."

Hati-hati, kuambil minuman itu, "Terima kasih, pelayanku."

Saat aku lengah, Elina berhasil merebut surat itu dari tanganku, lalu berlari ke luar. Setelah memindahkan minuman ini ke meja, membawa bantal, aku berlari mengejarnya. Kami berdua tertawa-tawa.

Apakah ini disebut harapan? apa aku harus kembali percaya? Biarkan waktu yang menjawab, saat ini aku hanya ingin membalas surat Altair.

Letters to LeviaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang