[Levia]
Rasanya butuh banyak sekali waktu, sebelum menyadari aku sedang terbaring di kamar, bergerak reflek dalam upayaku untuk meraih ponsel yang berdering.
Seseorang mendapatkannya lebih dulu, itu Elina, "Kamu tidur aja. Biar aku yang angkat. "
"Halo Levia! Bagaimana keadaan kamu sekarang?" Elina meloudspeaker, membuatku mengetahui kalau ini adalah suara Bu Tiwi, "Kamu tahu? Gara-gara kamu pingsan, saya harus duduk seharian di sana untuk menggantikanmu. Kalau kamu lemah, sebaiknya jangan bekerja di sini!"
Mendengar itu, air mataku tiba-tiba saja keluar.
"Bu Tiwi, ini saya Elina. Terhitung sekarang, kami berdua berhenti," Elina menutup panggilan.
Sesaat Elina menatapku, "Memangnya siapa dia? Bukankah kita digaji oleh pemerintah? Dia sama sekali nggak berhak mengatakan sesuatu seperti itu!"
"Tapi, El."
Elina tidak menjawabnya, ia memberikan ponsel, memelukku, "Mau bagaimana lagi? Kamu nggak bohong, saat ini cuma aku yang tahu kalau kamu benar sakit, kalau dipaksa kerja, bisa tambah parah, kan? Dia bilang kamu lemah? cuma aku yang melihat kalau selama ini kamu sudah berjuang keras. Sebenarnya, sudah lama aku nggak suka sama Bu Tiwi, tapi aku nggak mau pisah sama kamu."
"Via, semuanya bakal baik-baik saja, okay?" Kata-kata Elina yang ini, mengingatkanku pada Altair, menenangkan, memberiku banyak kekuatan.
Lagipula, aku sudah tidak tahan dengan sikap Bu Tiwi di tempat kerja, aku juga hanya tidak mau berpisah dengan Elina saja. Tapi saat ini ia mengatakan ingin keluar juga, sekarang semuanya menjadi jelas. Aku memeluk Elina semakin erat.
***
Keesokan harinya Elina menghilang, dan hari ini tepat seminggu sejak kepergiaannya. Aku hanya berbaring di kamar, Altair tak mengirim surat lagi, hidup tanpa pekerjaan, dan yang paling berat; tak ada Elina di sini.
Ada apa dengan kehidupan timbal-sulamku? ketika menerima dan membalas surat-surat Altair, menjelma senja yang merah merona, penuh harapan. Sementara hari-hari kesendirianku, adalah malam hari yang dingin.
Elina benar-benar tak memberikan informasi sedikit pun, mungkin saja ia sedang berada dalam masalah? Ia sedang kesulitan? Mengapa Elina tak memberitahukannya padaku? Padahal selama ini, Elina selalu ada melindungi, membelaku. Meski aku hanya menyusahkan saja, lagi dan lagi, tak berguna, tak mampu berbuat apa pun untuknya.
Dengan mata yang basah, aku ingat. Di semester pertama kuliah, ia pernah mengambil alih ponselku ketika aku tidur. Elina menghubungi nyaris semua cowok di kontak. Saat ketahuan, ia hanya bilang, "Aku tahu kamu masih sering teringat Gavin, mungkin saja ada salah satu dari mereka yang bisa bikin kamu melupakan cowok brengsek itu, kan?"
Setahun kemudian, di lingkungan kampus, Elina kedapatan sedang menempelkan pamflet yang berisi foto terbaik dan nomor teleponku. Setelah mengetahui aku berada di sana, ia berlari untuk memelukku, berkata, "Sudah selama ini. Kamu kesepian, kan?"
Aku mengelus punggungnya, "Enggak, selama masih ada kamu."
Elina melepaskan pelukan, menatapku tajam, "Ini beda! Nggak semua cowok sebrengsek Gavin. Kamu harus coba buka hati ke cowok lain, mungkin ada satu diantara mereka yang bisa mengembalikan kepercayaanmu."
Aku mencabut satu pamflet di dinding, "Ini kertas kan, El?" Aku menggulungnya sedemikian rupa, mengembalikannya seperti semula, lalu menyerahkan itu pada Elina. "Sekarang coba kamu kembalikan seperti semula."
Elina diam, menunduk, aku dapat membaca berbagai jenis rasa bersalah dari gesturnya.
Tak kuat menahan itu, aku kembali meraih dan memeluknya, "Kasih aku waktu, El."
Namun, hingga kami menyandang sarjana, dan bahkan bekerja bersama, aku masih mengingat luka yang ditinggalkan Gavin, dan belum juga bisa mempercayai laki-laki. Barangkali sekarang waktunya, El.
Ponsel berdering, puji-pujian kukirimkan pada Tuhan ketika tertera nama Elina di sana.
"Halo, Levia," Ini bukan suara Elina. Ini Bu Tita, ibunya. "Saya tahu kamu mengkhawatirkan Elina, dia selalu melarang kami untuk memberitahu ini ke kamu. Malam ini dia tidur tanpa menyembunyikan ponselnya, biarkan saya menggunakan kesempatan ini dengan baik. Minggu lalu dia nekad pulang kampung. Dia sakit."
Sakit? aku kehilangan tenaga, mataku berat, seperti ada sesuatu yang mendorong-dorong ingin keluar. Tak kuat menahan, aku membiarkan air mata keluar.
Mendengar isak tangisku, Bu Tita segera berkata, "Elina bakal segera sembuh, kalian bisa segera bersama-sama lagi, okay?"
Penggunaan kalimat tanya yang diakhiri kata okay, mengingatkan pada momen-momen ketika Elina menenangkanku. Ia sudah sakit seminggu, dan hari ini aku baru mengetahuinya.
"Levia? Levia? Kamu di sana?"
Dengan sisa-sisa tenaga, aku menutup telepon, meletakan ke dua telapak tangan di atas kepala. Aku melempar ponsel, menjambak rambut, mengigit bibir agar tidak berteriak.
Ditemani air mata, aku membayangkan raut wajah permusuhan Bu Tiwi ketika memarahiku. Perjuangan berat Elina yang ikut menderita karena membelaku. Kecewanya Bu Tita karena aku tidak bisa menjaga anaknya. Kekhawatiran Mom dan Dad di rumah yang tak pernah kuhubungi. Seluruh dunia seperti memusuhuki.
Levia, percayalah: saya berada di pihakmu. Sekalipun seluruh dunia memusuhimu, saya akan selalu berada di pihakmu.
Dibalik air mata, aku melirik ke jendela, menemukan daun menari-nari sebelum jatuh ke bumi. Jadi inikah akhirnya? hari-hari penuh warna itu, hanyalah, harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Letters to Levia
Roman pour AdolescentsSaya tak pernah ingin melihatmu jatuh. Jika saja kata-kata dapat digunakan sebagai sayap, saya berjanji bakal mengirimu surat setiap hari. Surat dari seorang misterius, mengubah kehidupan hitam putih Levia menjadi penuh warna. Namun, sikap dan ucapa...