(1) Bertemu

38 5 2
                                    

Malam ini bintang nampaknya malu untuk menunjukkan sinarnya. Tak satupun berani muncul di langit. Bulan pun enggan menyapa bumi. Sepertinya awan malam sedang mendung saat ini. Lagi-lagi aku salah memilih waktu yang pas untuk keluar di malam hari. Sedikit lama saja aku di kedai ini, bisa-bisa terjebak hujan lagi seperti kemarin.

Kedai modern ini selalu terlihat ramai. Mungkin karena tempatnya nyaman, dan hidangan yang disajikan juga sangat enak. Tidak satu hari pun aku melihat tempat ini sepi pengunjung. Selalu penuh oleh suara yang bising.

Aku yang ditemani secangkir frapuchino coffee, bukan tanpa alasan pergi ketempat ini. Aku sedang menyelesaikan tugas Bahasa dari Bu Tari yang mengharuskan memakai internet untuk mengerjakan nya. Ya, kebetulan di kedai ini menawarkan internet gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun pengunjung yang membutuhkan. Jadi, disinilah aku. Mengerjakan tugas yang menumpuk, dengan pikiran yang mulai suntuk. Ku putuskan untuk memandang langit saja. Daripada suntuk melanda, lebih baik melihat langit kosong diatas sana.

Dan ternyata percuma saja, malam ini kan tidak ada bintang. Untuk apa langit ditatap. Diatas sana hanya ada hamparan warna hitam yang luas. Mungkin melihat ke sekeliling akan jauh lebih baik. Aku memperhatikan keadaan sekitar, mulai dari meja nomor 26 yang diisi oleh sebuah keluarga kecil yang sedang berbahagia. Ayah, Ibu, dan seorang anak perempuan disana terlihat sangat menikmati hidup yang cuma sekali ini. Betapa aku dambakan keluarga kecil nan indah seperti itu. Lalu aku beralih ada meja nomor 14 yang diisi oleh sepasang sejoli yang sedang dimabuk cinta. Mereka saling menyuapi nasi goreng yang kelihatannya baru dipesan, terlihat dari asap nya yang masih mengepul di udara.

Lalu ada pria yang sedang menyendiri dimeja nomor 18. Tunggu! Tidak. Dia tidak sendiri kok. Ada satu buah buku berjudul Fatamorgana dihadapan nya. Dan itulah teman setia nya.

Rasa penasaran tiba-tiba muncul tanpa permisi pada yang punya. Seakan waktu berhenti berputar, jarum jam dan suara detik nya pun seakan terhenti. Melihat kedua mata nya yang sedang fokus melihat huruf huruf kecil yang berada didalam buku itu, mengingatkan ku pada sosok pahlawan kehidupan yang kusebut, Ayah.

Kedua mata itu dilapisi kacamata bening, yang terlihat pas dihidung nya yang mancung. Tidak sedikit pun kebisingan mengganggu nya, sama seperti Ayah saat membaca koran didepan Bunda yang mengomel. Tidak sedikit pun udara dingin mampu mengacaukan keasyikan nya, lagi-lagi sama seperti Ayah saat membaca koran di pagi hari yang diselimuti udara dingin. Tenang dan damai. Sama persis. Visualnya pun mirip dengan Ayah. Tegap dan bermata teduh. Hal ini membuat ku rindu sosok figur Ayah.

Sekarang si pria itu seakan sudah tenggelam jauh pada jagat maya yang hanya dia dan buku nya kuasai. Ia benar-benar tertutup pada dunia luar, sampai-sampai tidak tahu ada yang memperhatikan nya diam-diam dikelam malam yang berujung, sampai-sampai tidak tahu ada sepasang mata yang sedang memuji anugerah ketampanan nya, sampai-sampai tidak tahu ada sebuah bibir yang begitu ingin mengucapkan kalimat sapa diselubung hati. Sedang apa dia, dan mengapa tanpa teman?

"Astaga! Aku ini memikirkan apa sih? Ayo Amanda, fokus pada tugas mu!"

Tersadar dari jagat maya, aku kembali fokus pada laptop yang ada dihadapanku. Kini, layarnya sudah mati karena terlalu lama aku diamkan.

Satu menit berpikir dengan tangan yang masih mengambang diatas papan ketik, tidak dapat ide juga. Tiga menit berpikir dengan jari telunjuk berada dipelipis mata, tidak dapat ide juga. Kini, sudah lima menit berusaha berpikir dengan rambut yang sudah diacak-acak, tetap tidak dapat ide juga. Ah, aku frustasi.

Bagaimana Yana-teman sekelasku begitu mudah mengerjakan tugas Bahasa ini? Dia hanya perlu dua jam saja untuk menyelesaikan semuanya. Sedangkan aku? Sudah duduk lebih dari dua jam, masih saja buntu.

Dia, KatakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang