PART 4 : IRONI JEJAK

1.7K 61 0
                                    

Dengan segala persiapan, kami pun bersiap untuk menuruni gunung. Langkah kaki mulai menjauh dari puncak dan saat itu pula, kami baru tersadar bahwa kami lupa untuk mengisi perbekalan air di pusat mata air yang berada tak jauh dari puncak. Merasa pasrah, kami melanjutkan perjalanan kami menuruni gunung dengan murung.

Setibanya kami di tebing menangis kami terduduk lesu, seakan ingin menangis melihat tebing yang curam dan berlumpur akibat hujan. Pastinya ini sangat membahayakan jika kami tidak memperhatikan langkah dengan baik, bisa-bisa kami terperosok jatuh ke bawah jurang. Kami mulai menuruni tebing dengan mengandalkan akar-akar pohon yang menjalar di dinding tebing. Fokusku teralihkan pada Acil yang berkoar tak henti.

"Ah gampang, ginian doang, aku kan ninja warrior"

Acil yang merasa angkuh dengan candaannya, alhasil ia pun terperosok jatuh ke bawah. Untung saja di saat itu ia tidak jatuh ke jurang yang berada di sisi sebelah kanan kami dan sempat berpegangan dengan sebuah pohon sebelum akhirnya ia benar-benar jatuh menghantam tanah. Kami merasa cemas melihat kejadian tersebut dan bergegas menolongnya. Alih-alih kesakitan ia malah tertawa, rasa cemas kami berubah menjadi rasa kesal.

"Bisa-bisanya ini anak ketawa." Aku membatin.

Tebing yang membuat kami hampir menangis, sesuai dengan namanya, akhirnya berhasil kami lewati. Perjalanan semakin terasa melelahkan akibat kurangnya persediaan air. Agar tidak dehidrasi, kami meminum air yang tergenang di dalam bunga kantung semar yang masih bersih tanpa dihinggapi serangga. Di saat situasi seperti ini air itu cukup membuat dahaga kami menghilang.

Di perjalanan pulang, kami saling bertegur sapa dengan para pendaki lain yang ingin menuju puncak; mulai dari anak seusia kami, hingga sekelompok pendaki yang turut mebawa keluarga besar nya. Bahkan mereka membawa anak kecil yang perkiraanku masih duduk di bangku sekolah dasar. Hebat sekali, di saat anak seusia mereka sibuk bermain dengan gadget, mereka sudah mulai berpetualang mendaki gunung dan menyusuri hutan. Membuat ku terkagum kagum olehnya.

Untuk menyegarkan badan, Habib mengajak kami ke sebuah pemandian air hangat yang benar-benar tersembunyi dan tidak banyak diketahui orang-orang yang letaknya tak jauh dari jalur pendakian. Sekali lagi, kami harus menuruni tebing untuk sampai di sana. Di saat itu juga kakiku terasa sangat gatal, tak tahan dengan rasa gatal yang bercampur dengan rasa perih, aku menghentikan langkahku sejenak. Ketika aku melihat ke bagian betis, ternyata sudah banyak sekali pacet yang menempel, dikarenakan pada saat itu aku hanya menggunakan celana pendek, jadi gampang sekali bagi pacet untuk menempel dan menghisap darahku. Lalu aku menyuruh teman-temanku untuk memeriksa tubuh mereka masing-masing, siapa tahu mereka juga terserang oleh pacet. Benar saja, secara tidak sadar sudah ada beberapa pacet yang menempel di kaki mereka. Kami kembali terhenti untuk membersihkannya dengan menyirami pacet-pacet ini dengan minyak angin agar terlepas. Terhitung ada 13 pacet yang menempel. Aku meminta bantuan mereka untuk membersihkan kakiku dari serangan pacet. Bukan karna geli atau jijik, tapi aku memiliki phobia terhadap darah. Aku bisa saja pingsan melihat darah yang mengalir keluar dari tubuhku.

Setelah semua pacet terlepas, kututupi mataku sambul membersihkan kaki dari noda darah menggunakan dedaunan di sekitar. Aku takut, jika aku melihat darah yang begitu banyaknya bisa membuatku pingsan dan membuat keadaan semakin merepotkan pastinya.

Suara derasnya air mulai terdengar, pertanda tempat pemandian sudah dekat. Setibanya kami di sana, aku begitu terpana melihat segarnya air yang terjun langsung ke sebuah sungai yang berbentuk kolam. Acil yang tidak membawa pakaian ganti terpaksa harus menjaga peralatan kami. Tanpa pikir panjang, kami mengganti pakaian dan langsung melompat ke dalam kolam, walaupun air nya hangat, akan tetapi ini sangat menyegarkan bagi kami. Akibat kekurangan minum selama di perjalanan membuatku sangat kehausan. Dengan bodohnya aku langsung meminum air yang mengalir dari pipa bambu. Rasanya sangat-sangat aneh, membuat ku sampai muntah akibatnya.

PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang