Kucing Jalanan

2.9K 15 6
                                    

Beberapa bulan yang lalu seorang pria membeliku dari pasar. Alasan yang kudengar dari perbincangannya dengan pemilik toko, ia memilih karena bulu-bulu yang lebih tebal dibanding kucing lainnya.

Dia memberi kandang yang lebih tepat disebut istana. Terang dan nyaman. Sangat berbeda dengan tempat tinggalku yang lama. Dimana harus meringkuk di antara kawat-kawat yang mencuat. Bergerak sedikit saja pasti tamat.

Ingin rasanya aku menggesekkan bulu yang halus ini ke betisnya sebagai bentuk respect. Hal yang kurasa akan disukai oleh manusia. Namun, tiba-tiba teringat, hal serupa telah kulakukan pada majikan yang lama. Seorang pande besi dengan tangan-tangan setajam gergaji. Pande besi itu menendang seketika.

Satu dua kali, pria yang nampaknya penyabar tersebut menggendong dan mengelus-elusku. Rasa bahagia yang membuncah tidak terlukiskan dengan kata-kata. Aku ingin membalas perlakuannya. Menggigit kecil jari atau mengendus-endus lengan, dada, mungkin juga wajahnya. Namun, tetiba teringat lagi, aku pernah dihardik dan dilempar di tengah hujan petir ketika mencoba melakukan itu pada majikan lama. Akhirnya, aku tak pernah melakukan apa-apa selain mengeong dan mengeong.

Pada suatu hari pria itu mulai menjaga jarak. Sehari tak menemuiku dan menatap sinis. Sering juga terlihat ia melempar barang-barang. Aku menerka-nerka, apakah karena bulu ini terlalu kasar atau dekil? Aku pun dilanda kebingungan setiap malam. Ketika ia memanggil-manggil, tak kuhiraukan, sibuk mencari kekurangan. Tibalah suatu pagi aku dilempar ke jalanan. Semakin tersesatlah diri ini dalam prasangka-prasangka.

Di pojok gudang tetangga yang berdinding bambu lapuk, aku duduk. Merenung khusuk. Akhirnya, temulah jawaban itu. Bukan aku dekil, bukan bulu kasar. Melainkan, seseorang memeliharaku karena ingin bermain-main, merasakan gigitan kecil, menikmati hangat endusan juga halusnya sentuhan bulu-bulu. Semua itu pernah tergambar dalam angan, tapi aku terlalu takut hingga tak pernah mencurahkan. Semata karena tidak ingin mengganggu lalu dilempar atau dihardik lagi. Lupa bahwa Bang Roma pernah bilang, "lain lubuk, lain airnya, lain pula ikannya." Aku tak bisa memukul rata bahwa semua majikan pasti sama.

Jika pria itu memberi kesempatan sekali lagi, aku akan mencurahkan segala cinta dan perhatian yang kuperam dalam angan. Aku hanya butuh dukungan dan kepercayaan serta dijauhkan dari ketakutan-ketakutan. Dengan lelai diri ini melangkah, kembali ke rumah sang tuan.

***

Deja Vu (Sebagian Cerpen Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang