Asap putih menyusup dari celah-celah anyaman bambu. Melayang ke arah sembarang, menari-nari di udara dengan riang. Aroma ikan teri goreng mendarat di hidung mungil Togog yang berdiri di depan pintu toilet umum.
Remaja bertubuh tambun dengan tahi lalat di pipi itu mengendus beberapa kali. Tatapannya terpancang ke seberang jalan pada warung Sego Gegog. Kuliner khas Trenggalek yang akhir-akhir ini naik pamor.
Di beranda warung tampak seorang kakek tengah menyantap nasi bercampur sambal teri itu. Sendok demi sendok ia masukkan ke dalam mulut dengan wajah penuh kepuasan. Dua butirnya sampai tersangkut di jambang yang kusut. Togog terpana menelan saliva.
Ketika kembali ke rumah yang berjarak sejauh tiga kali tiang listrik, sepanjang jalan Togog bergumam, "Sego Gegog, Sego Gegog. Aku harus minta duit emak. Harganya lima ribu. Tambah ayam jadi sepuluh ribu. Beli dua porsi biar puas. Berarti dua puluh ribu. Kalau ndak dibolehin aku ngentit. Ah, biarin."
Langkah Togog begitu ringan melewati perempatan. Senyum yang sedari tadi mengembang tiba-tiba hilang melihat pintu rumahnya di ujung jalan tertutup palang. Hanya pagar bambu bercat kuning yang sedikit terbuka. Baju di jemuran pun telah raib entah kemana.
Remaja berkulit gelap itu berlari dengan bibir mengerucut. Tidak dihiraukannya hamparan Krokot merah di halaman rumah yang patah-patah terinjak langkah. Pada sobekan bungkus obat nyamuk yang tertindih asbak putih berdaki di teras, perhatian Togog tertuju sepenuhnya.
Kertas buram itu bertulis, 'Le, emak ke pantai sama budhe. Mungkin besok pulang. Ada uang untuk beli lauk. Berasnya sudah emak siapkan di dekat mejicom. Jangan telat makan. Baju di depan tv tolong dilipat.'
"Ditinggal meneh," gerutu Togog. Sambil mengacak rambut ikal, ia menarik dua lembar uang sepuluh ribuan yang diselipkan di bawah kertas. Senyumnya rekah hingga nampaklah gigi yang tersusun tidak rapi.
"Nah, ini baru diomongin sudah ada," gumamnya seraya mencium dua lembar berwarna ungu itu.
Togog melangkah seperti dikejar buaya. Suara sandal jepitnya mengganggu telinga. Tiba-tiba langkah Togog terhenti begitu membuka pagar. Bola matanya bergerak liar.
"Nanti, ah. Kalau sudah lapar. Biar lebih mantap dan lahap," ujarnya sambil menepuk perutnya yang buncit.
Togog pun membuka palang yang diletakkan di depan pintu berdaun ganda. Kuncinya tempo hari ia lempar ke halaman untuk mengusir ayam yang merusak tanaman. Lalu hilang tak ada rimba. Memasuki rumah kecil yang belum diplester itu, pertama kali ia melihat tumpukan baju yang menanti di depan teve buatan Cina. Togog menyalakan benda empat belas inchi tersebut dengan tergesa. Kartun favorit si spons kuning menjadi pilihan kali ini. Sambil melipat pakaian yang kebanyakan daster milik ibunya, Togog terkikik hingga terbahak.
Tak berapa lama kemudian, dengkuran suara Togog dan teve yang kini menampilkan kartun domba dari Inggris berlomba di udara. Kumbang berdengung yang hinggap di hidungnya, membangunkan remaja itu dari lelap. Ia tergegap. Memancang pandangan ke jam di dinding seberang. Jarumnya membentuk sudut empat puluh lima derajat di bagian kiri bawah.
"Mati aku! Ketiduran," serunya.
Ia pun bergegas menuju warung Sego Gegog. Para tetangga yang berpapasan menatap heran. Sesampai di sana, Togog gigit jari melihat pintu dan jendela warung tertutup rapat. Hanya terdengar suara spanduk berkibar tertiup angin, seolah mengejeknya.
"Sabar ... besok pagi kita sarapan Sego Gegog sepuasnya ya, Rut ... Perut," gumamnya seorang diri sambil melangkah pulang. Cemberut tampang.
***
Esok harinya dengan sumringah Togog kembali berjalan menuju warung. Saking girangnya hingga lupa ganti baju. Mulutnya terus bergumam memuji kelezatan Sego Gegog. Sepertinya tidak ada yang lain di dalam otak remaja itu.
Di bawah pohon sawo, Togog melongo. Warung nasi khas itu masih tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya apalagi santapan. Togog memutuskan menduduki bangku panjang di dekatnya.
Pemuda itu mengamati bayangan pohon sawo yang jauh lebih panjang dari aslinya. Mulai ramai orang berlalu lalang, tapi warung masih belum buka juga. Sesekali Togog mulai mengusap peluh dengan ujung baju. Ia pun meringis dan memegangi perut. Maklum, demi nikmatnya Sego Gegog, Togog tak melahap nasi dari kemarin.
Ketika dilihatnya bayangan pohon sawo sudah lebih pendek dari ukuran sebenarnya, Togog memutuskan tetap menunggu. Bibirnya kering dan tubuhnya loyo. Ia pun mulai sering sendawa. Namun, nampaknya ia benar-benar telah tersihir oleh nasi sambel teri itu hingga tetap bertahan sampai matahari hilang ditelan pekat.
Pandangan Togog tertuju pada seorang nenek penjual Serabi di seberang jalan yang ramai pembeli. Ia menelan ludah. Segera bangkit. Baru tiga langkah berhenti lagi.
"Kalau beli Serabi. Besok ndak cukup uangnya buat beli Sego Gegog," gumam Togog.
Dengan gontai, ia mengayunkan kaki ke rumah. Sesekali menoleh ke penjual serabi sambil memegangi perut. Menggeleng pelan. Lalu, melanjutkan langkah.
Dapur yang pertama Togog tuju begitu tiba di rumah. Diambilnya piring yang tersusun rapi dekat rice cooker. Kemudian, Togog membuka alat modern itu. Matanya membulat. Alisnya terangkat.
"Mati aku mbok'e. Belum tanak nasi," keluhnya sambil menepuk ubun-ubun.
Akhirnya, air yang tinggal sedikit dalam teko plastik ia tenggak sampai tersedak. Baju yang dikenakan basah kuyup, tapi Togog tak tampak gugup. Justru langsung membaringkan diri di kursi depan teve.
Jam telah berdentang dua kali, tapi remaja itu masih terus gonta-ganti posisi. Nampaknya begitu sulit baginya memejamkan mata. Togog meremas-remas perut. Kedua ujung bibir tertarik ke bawah. Rintihan samar-samar terdengar. Entah, berapa lama sampai akhirnya tinggal suara dengkuran.
***
Kokok ayam di subuh hari membuat Togog mengerjap. Ia tak beranjak barang sedikit. Lengannya lelai seperti tanpa tulang dengan bibir gemetar. Togog membuka mulut, tapi tak bersuara. Tiba-tiba seperti tersedak. Dari mulutnya keluar cairan bening berbau asam yang membasahi leher. Lalu mengalir ke kursi ukir.
Saat itulah pintu depan terbuka. Sang ibu masuk membawa tas berbahan kanvas. Perempuan paruh baya itu panik sepulang piknik begitu melihat putranya bersimbah cairan dari lambung. Membiarkan tasnya meluncur ke lantai, ia berhambur mendekati putranya.
"Oalah, Le. Iki mesti telat makan. Maagmu kambuh pasti lemes begini. Dikandani ndak pernah gubris," gerutu sang ibu sembari mengelap leher Togog dengan ujung kerudung.
Togog menatap seksama seolah memohon. Paham arti tatapan itu, si ibu langsung bangkit. "Sebentar. Emak ke rumah Pak RT dulu minta tolong antar kamu ke puskesmas," ujarnya tergesa.
Semburat kuning kemerahan mulai muncul di ufuk timur kala perempuan itu kembali ke rumah bersama beberapa warga. Mereka segera saja menggotong Togog yang terkulai menuju mobil Pak RT yang sudah menunggu di halaman. Ketika melewati Warung Sego Gegog yang kini telah buka dan mulai ramai pengunjung Togog sempat melirik. Namun, lirikan itu hanya sekilas. Tak acuh.
Bersandar di bahu sang ibu, ia bergumam sangat lirih, "Serabi hari ini lebih baik daripada Sego Gegog besok."
Ia pun jatuh tak sadarkan diri.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu (Sebagian Cerpen Sudah Terbit)
RomanceTulisan-tulisan ini ada dalam buku: -Antologi Kucinta Kau Kucinta Hujan -Antologi Negeri Pelangi -Antologi Belanga Tanah -Antologi Lelaki yang Mencintai Pintu