Kanyanulus
Dia telusuri tengkukku dengan jemari yang dingin. Perlahan merayap ke pundak. Dielus-elus beberapa kali. Matanya seolah tombak yang melesat ke dalam otakku.
"Belum sampai moksa, tapi Sang Dewa begitu murah memperlihatkan serpihan nirwana padaku." Suaranya begitu halus, lebih indah dari penyanyi yang pernah kutemui di jalan menuju ibukota. Para seniman memang diberi kebebasan menunjukkan bakat atas kemurahan Sri Baginda.
"Aku tidak pernah lebih indah bahkan dari dayang-dayangmu."
Dia menempelkan telunjuk di bibirku. "Keindahanmu menghapus bayangan seseorang yang telah lama berpulang. Membuat hatiku membuncah laksana rumput teki diguyur hujan setelah dijerang matahari satu bulan."
Perkataan itu bak sembilu yang perlahan mengiris jiwa. Semakin menjelaskan bahwa aku tidak akan pernah menjadi istimewa. Kenyataan yang harus diterima oleh keturunan tukang besi sepertiku. Sementara yang dimaksud Sri Baginda adalah seorang putri jelita dari kerajaan lebih tua. Putri yang telah mengakhiri hidup setelah ayahandanya kalah dalam pertempuran. Peristiwa yang memupus harapan raja untuk mempersuntingnya.
Aku menyungging senyum. "Itu sanjungan berlebihan, Baginda. Aku khawatir kutilang merasa rajawali. Turut menyerang ular, mengira mangsa padahal pemangsa."
Dia menurunkanku dari pangkuan dengan lembut, lalu melangkah membelah sungai yang mulai surut karena musim kemarau telah tiba. Bebatuan sebesar kepala raksasa tampak menyembul ke permukaan. Tanpa melepas kain yang melilit dari pinggul sampai lutut, aku mengikutinya. Ayah sudah berpesan agar aku memuliakan Sri Baginda sedemikian rupa. Itu karena aku satu-satunya gadis desa yang dipilih untuk menemaninya. Sebuah kehormatan yang lebih agung dari kejatuhan bulan.
Namun, bukan semata perintah ayah aku melakukannya. Diam-diam telah lama aku melukis ksatria gagah ini di lembar-lembar lontar. Mengandalkan imajinasi dan sedikit informasi dari desas-desus yang disebar para pedagang, tentang tatapan setajam mata elang dan mahkota berbahan emas, bertahtakan permata.
Ketika beberapa hari lalu tersiar kabar iring-iringan raja yang tengah berkeliling ke pelosok negeri akan singgah di Kalayu, aku mengucap syukur pada Dewa karena telah mengabulkan doa yang kupanjatkan. Yaitu melihat penguasa besar ini setidaknya sekali dalam hidup. Hari itu juga kuminta kain baru pada ayah dan ibu agar tampil sempurna di hadapan raja.
Benar saja, seusai upacara penyekaran--yang lebih mirip perayaan--ke makam leluhurnya, iring-iringan itu bermalam di perkampungan kami. Para penduduk berbondong-bondong memberi hadiah sebagai wujud rasa cinta. Tak lupa pula meminta raja memilih salah satu gadis untuk menemaninya selama berada di perkampungan. Tanpa melihat yang lain, sorot mata Sri Baginda tertuju padaku. Hal itu membuat iri para gadis lain, terlihat dari cara mereka menatapku. Ada juga yang berbisik raja memilihku karena ayah sangat berjasa membuatkan senjata para prajurit. Namun, bukan itu sesungguhnya. Tatapan memujanya padaku tidak akan sirna bahkan oleh tujuh tabir sekali pun.
Saat aku tertatih mengikuti langkahnya ke tengah sungai, raja memercikkan air. Seketika aku menghindar hingga rambut panjang ini mengenai wajahnya. Lalu tawanya membahana. Aku mengitarkan pandang, malu jika ada salah satu prajurit yang menyaksikan kebersamaan kami. Namun, mereka begitu patuh pada perintah yang raja berikan beberapa saat lalu untuk menyebar agak jauh dari sungai.
"Setiba di istana akan kuutus seseorang menjemputmu. Akan lebih baik jika sepasang kekasih tinggal berdekatan, bukan? Saat ini perjalananku masih panjang dan harus singgah di beberapa desa. Belum lagi iring-iringan berjalan sangat lamban."
"Tidak, Baginda. Aku tidak mengerti sama sekali kehidupan di dalam istana, juga tidak memiliki darah bangsawan. Keberadaanku tidak akan memberi keuntungan pada kekuasaanmu. Aku takut kelak akan ditelantarkan."
![](https://img.wattpad.com/cover/173268000-288-k852205.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Deja Vu (Sebagian Cerpen Sudah Terbit)
RomanceTulisan-tulisan ini ada dalam buku: -Antologi Kucinta Kau Kucinta Hujan -Antologi Negeri Pelangi -Antologi Belanga Tanah -Antologi Lelaki yang Mencintai Pintu