Membantu Persalinan di Alam Ghaib

361 4 0
                                    

"Makhluk halus itu seperti manusia, jumlahnya banyak. Hanya saja di antara mereka ada yang bisa menampakkan diri, ada yang hanya mengeluarkan suara atau malah tidak bisa sama sekali. Tergantung tingginya ilmu yang dimiliki. Ya, seperti halnya manusia, ada yang punya kemampuan melihat mereka, ada yang tidak.

"Mereka kebanyakan hidup di bawah pohon dan di tepi sungai. Ketika matahari mulai tenggelam, mereka ngeluyur sampai dini hari." Itu cerita yang selalu kudengar dulu sekali dari mendiang kakek. Aku selalu mengangguk takzim setiap kali beliau mengulanginya, ditemani secangkir kopi dan pisang goreng di atas tikar anyaman pandan.

Seiring berjalannya waktu, cerita semacam itu kuanggap cara orang tua melarang anak-anaknya keluar rumah ketika malam menjelang. Juga sebagai rambu-rambu agar manusia tidak seenaknya menebang pohon, mencari ikan dengan setrum atau bahkan menebar racun ke permukaan sungai. Pergaulan dengan orang kotalah yang membuatku menumbuhkan anggapan itu. Kini, saat sudah menjadi bidan di sebuah puskesmas yang terletak di kaki gunung, anggapanku masih sama, bahwa hal serupa itu hanya imajinasi.

Tempat tinggalku dapat ditempuh sekitar dua jam dari pusat kota. Jalan yang sempit dengan bebatuan di sana-sini membuat daerah ini terisolir. Hanya jembatan bambu selebar kira-kira satu setengah meter yang menghubungkan dengan desa terdekat. Oleh sebab penyangga mulai rapuh, tak jarang jembatan itu bergoyang ketika dilewati.

Udara yang segar dan kicauan burung-burung saat pagi hari membuat tempat ini begitu asri. Apalagi rumahku berhadapan dengan hamparan sawah. Setelah sawah yang tampak hanya perbukitan rindang. Tetangga terdekat jaraknya sekitar seratus langkah dari rumah, itupun harus melewati sederet pepohonan trembesi. Suasana yang jauh dari kebisingan membuatku kerasan berada di sini selama hampir lima tahun ini.

Setiap hari aku berangkat ke puskesmas bareng Mas Tito. Ia bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMK di kota. Mas Tito selalu pulang pukul empat sore, oleh karena itu aku yang sudah pulang dari jam dua belas, harus menunggunya menjemput sampai sore, tak jarang sampai adzan maghrib berkumandang.

Kamis pagi, Mas Tito berangkat study banding ke luar kota, menginap semalam katanya. Ia mewanti-wanti agar aku berhati-hati. Tempat tinggal kami yang jauh dari keramaian membuatnya khawatir kalau-kalau ada yang menjarah benda-benda di rumah. Aku meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

"Lagipula rumah Yu Katiyah kan deket. Kalau ada apa-apa ya aku tinggal teriak aja," kataku. Meyakinkan sekali lagi ketika mengantar suamiku sampai halaman.

Setelah Mas Tito berangkat dengan temannya yang menjemput, aku segera mengunci pintu dan berangkat ke puskesmas dengan motor kami satu-satunya. Cuaca tidak secerah biasanya. Jalanan berkabut dan udara sangat dingin. Ketika aku melewati jembatan yang berjarak sekitar dua ratus meter dari rumah, bau anyir langsung menyeruak ke rongga hidung. Aku menduga itu bau ranting-ranting yang telah dibawa arus berhari-hari, tersangkut penyangga jembatan. Lalu air surut sehingga baunya menguar.

Entah, mengapa tetiba aku teringat cerita Yu Katiyah. Suaminya pernah berjumpa lelaki berwajah datar di tengah jembatan ketika pulang terlalu malam dari sawah. Akibatnya sekarung padi yang baru dipanen dilempar ke sungai, ditinggal lari. Dua hari berikutnya mengalami demam tinggi. Seketika bulu kudukku meruap. Namun, kecepatan tak mungkin kutambah atau jembatan semakin berguncang, bisa-bisa ban motor terpeleset.

Sepanjang hari di puskesmas aku tak banyak berkata-kata. Kesal tanpa sebab, seperti hendak menstruasi. Nasi pecel berbungkus daun pisang di depan puskesmas yang menjadi kegemaranku, kali ini rasanya benar-benar hambar sehingga hanya kumakan dua sendok. Bahkan sesekali aku merasa ada angin yang menyusup halus ke lubang telinga.

Aku berencana pulang lebih awal karena tidak enak badan, tapi gagal karena mendadak ada seorang ibu mau melahirkan anaknya yang pertama. Jadilah hari itu aku pulang sebelum adzan maghrib berkumandang. Syukurlah, di jembatan itu aku berpapasan dengan Yu Katiyah yang baru pulang dari sawah. Jadi aku bisa lebih santai meniti jembatan karena ada teman.

Deja Vu (Sebagian Cerpen Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang