s e v e n

20 5 0
                                    

07 – Ritual Menyambut Perpisahan

"Aku sudah bisa menyimpulkan sekarang, kesimpulan dari sebab koma Allen dan diriku, serta akibatnya. Yang jadi poin sebenarnya bukan kecelakaannya," ucap Thomas yang sulit dimengerti, terlebih oleh Allen yang katanya lemot.

"Begini, yang jadi poin bukan kecelakaan yang kita alami. Yang jadi poin adalah karena kita berdua sama-sama menyimpan dendam pada orang itu. Kita menyimpan dendam pada Cameron. Jadi kesimpulannya, mungkin saja kita bisa kembali setelah melenyapkan dendam kita pada Cameron ... iya, kan?" jelas Thomas (yang sebenarnya masih sedikit ragu pada teori sok tahu-nya itu).

Allen berdecak kagum dalam hati. Thomas memiliki daya analisis yang jenius. Meski begitu, Allen masih bingung. Ia sudah melenyapkan rasa dendamnya, lantas kenapa ia masih di sini?

"Aku sudah melenyapkan rasa dendamku. Tetapi kenapa aku masih di sini?" tanya Allen bingung.

Thomas tersenyum. "Ini hanya pikiranku, sih. Tapi ku pikir ini akan berhasil."

Thomas mulai menjelaskan pada Dylan dan Allen. Sepasang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh rasa antusias. Keduanya menatap Thomas hampir tanpa berkedip sekali pun. Setelah Thomas selesai menjelaskan, Allen mengangguk-angguk.

"Jadi, kita akan mempraktekkannya bersama? Kalau tidak berhasil kita harus bertemu di sini lagi?" tanya Allen.

Thomas mengangguk sambil tersenyum.

Tetapi, Allen melihat senyum yang berbeda pada wajah Thomas. Bukan senyum penuh keyakinan lagi, ini senyum yang memiliki kesan berbeda.

"Kenapa, Thomas?" Allen tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya.

"Sudahlah, kau berbaring saja dulu. Tapi jangan kau praktekkan dulu, aku ingin mengobrol sebentar dengan Dylan," ujar Thomas.

Allen menatap Thomas sejenak, dan muncul rasa sedih dalam dirinya. Namun ia mengangguk dan menurut. Ia berjalan ke arah ranjangnya, menatap iba pada tubuhnya sendiri yang dipasangi berbagai macam selang untuk menopang kehidupannya. Sambil berbaring menembus tubuhnya sendiri, Allen melirik Thomas dan Dylan yang duduk di atas sofa yang mereka duduki bersama tadi.

Allen menghela nafas.

Apa yang terjadi kalau cara yang Thomas beritahu tadi berhasil? Apakah Thomas akan melupakan Allen? atau Allen yang akan melupakan Thomas? Atau jangan-jangan mereka berdua akan saling melupakan? Allen tidak dapat membayangkan hal itu. Dari tiga kemungkinan itu, tidak ada yang lebih baik sama sekali menurut Allen.

Allen berharap-harap cemas, semoga saja setelah bangun ia dapat mengingat Thomas. Semoga saja ia dan Thomas bisa terus berteman. Memang sudah seharusnya begitu. Keduanya sudah melalui banyak hal dalam meski dalam jangka waktu yang belum bisa dibilang lama. Tapi cobaan yang dilalui ini benar-benar memaksa keduanya berpikir keras. Keduanya melalui cobaan ini bersama.

Aneh. Seharusnya dalam kondisi Allen yang sudah semakin mendekati keberhasilannya dalam menyatu dengan tubuhnya lagi, ia bahagia. Seharusnya begitu. Tetapi, Allen justru merasakan sensasi yang aneh dalam dirinya. Semacam rasa sesak yang bergumul dalam dadanya.

Setelah menunggu dengan sabar selama beberapa menit, akhirnya Dylan dan Thomas kembali ke hadapannya.

"Kau siap, Allen?" tanya Dylan dan Thomas bersamaan.

Allen menatap dalam ke manik mata Thomas. Ia mengangguk dengan ragu.

"Thomas," panggil Allen saat Thomas berbalik.

Thomas langsung berbalik ke kamarnya? Apakah ia tidak ingin mengucapkan sepatah kata pun pada Allen?

Thomas menoleh dengan wajah sok datar. "Apa?"

Allen menggeleng. "Kira-kira apakah kita akan ingat apa yang terjadi saat kondisi kita seperti ini setelah bangun nanti?"

Thomas tersenyum, mengedikkan bahu. "Entahlah."

Allen tidak bisa membayangkan kalau Thomas dan dirinya tidak saling mengingat setelah apa yang mereka jalani bersama. Thomas nyaris lebih dekat daripada sahabat bagi Allen. Meski mereka berdua terlampau sering bertengkar—bahkan dalam persoalan sepele—Allen merasa begitu nyaman saat bersama Thomas. Ia tidak perlu menjaga perilakunya, ia bisa menjadi diri sendiri. Tidak seperti saat bersama Cameron atau mantan-mantannya yang lain.

"Berjanjilah kau tidak akan melupakanku." Allen menyodorkan kelingkingnya pada Thomas, yang dibalas lelaki itu dengan tatapan sendu.

Thomas ragu-ragu membalas jari Allen. Tetapi jarinya perlahan tertaut pada jari Allen. "Promise."

Allen nyaris menangis lagi hari ini.

"Terima kasih banyak untuk semuanya," ucap Allen.

Thomas mengangguk. "Terima kasih juga sudah mengisi kekosongan yang ku rasakan selama berbulan-bulan."

Allen tersenyum ia tidak ingin melambai atau mengatakan selamat tinggal karena ia tidak menginginkan perpisahan di antara dirinya dan Thomas. Tanpa Allen ketahui, Thomas juga memikirkan hal yang sama ia tidak ingin melambai karena ia tidak ingin berpisah dengan Allen.

Thomas memeluk Allen yang berbaring sekilas. Kini, ia bahkan dapat merasakan kehangatan saat berpelukan dengan Allen. Allen tersenyum membalas pelukan Thomas, dan Thomas pun kembali.

Allen pun berbaring dengan rileks menembus tubuhnya. Dylan berdiri di sebelahnya, sedangkan Thomas mungkin sudah berada di kamarnya.

"Aku sudah memaafkan kesalahan Cameron. Aku tidak apa-apa. Yang terpenting adalah aku ingin bangun dan memulai semuanya lagi. Aku akan menuruti Mom dan Dad. Aku tidak akan bergaul dengan anak-anak itu lagi. Aku berjanji," bisik Allen, bergumam. Tanpa sadar, air matanya mengalir. Ia mengucapkan kalimat tersebut dengan sepenuh hatinya.

Di sisi lain, Thomas menatap rumah sakit tempatnya dirawat inap selama 6 bulan. Ia berbaring dengan rileks seperti yang ia instruksikan pada Allen. Ia tersenyum paksa.

"Aku menyabut sumpahku. Aku memaafkan orang itu. Karena, berkat orang itu aku bertemu dengan seseorang yang menimbulkan rasa hangat dalam diriku. Aku bertemu dengan seseorang yang berharga. Orang yang membuatku nyaman. Aku tidak menyesal atau pun benci pada Cameron lagi."

SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang