Chapter 3 - H-7

27 0 0
                                    

Selama hampir satu jam lebih Tara terisak dibahu sahabatnya. Kini kepala dan matanya sudah sangat terasa berat akibat perjalanan yang memakan waktu hampir 4 jam dari Bandung untuk sampai ke rumah Citra. Tara ingin memejamkan matanya, tapi ia berhutang penjelasan lebih kepada sahabatnya itu.

"Minggu depan..." ucap Tara perlahan.

Citra menunggu. Dirinya tahu apa yang saat ini akan disampaikan oleh Tara adalah hal yang mungkin tak akan pernah ia duga sedikitpun. Apalagi selama pertemanan mereka selama 5 tahun, baru kali ini Tara bersikap seperti ini kepadanya. Yang ada justru sebaliknya, Citra lah yang selalu menangis dan merengek meminta nasehat dari Tara.

"Minggu depan, Tara akan menikah." Ucap Tara pada akhirnya.

Untuk sesaat mereka berdua terdiam. Tidak. Lebih tepatnya Citra yang butuh waktu memproses perkataan Tara barusan.

Tara menunggu reaksi Citra. Namun, tak ada sepatah katapun yang terucap. Jika sudah seperti ini, maka Tara lah yang harus memulai menjelaskan semuanya.

"Selama dua tahun ini, sebenarnya Tara sudah dikhitbah. Dan beberapa minggu yang lalu, pria yang mengkhitbah Tara ingin menikahi Tara bulan depan. Dia tak punya kekurangan, orangnya tampan, pintar, juga mapan. Pria sempurna yang mungkin diidamkan seluruh kaum hawa di luar sana untuk dijadikan suami." Jelas Tara dengan suara bergetar.

"Biar Citra tebak, pria itu adalah pria yang membawa buket mawar merah di hari sidang Tara?" Tanya Citra.

Tara mengangguk perlahan.

Citra kembali terdiam. Bahkan dengan sekali lihatpun Citra tahu pria yang dimaksud Tara adalah pria yang sempurna secara fisik.

Citra menghembuskan nafas perlahan. Ia bisa melihat dengan jelas, sinar mata Tara yang terluka.

"Kamu takut, ra? Takut namanya tak akan pernah ada di hatimu?" ucap Citra.

Air mata kembali menetes dari pelupuk mata Tara. Citra tahu dengan jelas seperti apa Tara. Dan Citra pun juga tahu, di hati Tara hanya tersimpan satu nama sejauh ini. Dan nama itu adalah Azam seorang.

Tapi Citra juga tak mungkin membiarkan Tara membatalkan pernikahannya, terlebih lagi Citra juga tahu kalau selama ini Azam sudah menaruh hatinya untuk wanita lain. Dan wanita itu jelas bukan Tara.

"Lalu kenapa Tara tidak membatalkan khitbah pria itu sejak dulu?" Tanya Citra.

Tara terdiam. Pertanyaan itu juga lah yang mengganggunya. Beberapa tahun lalu Tara memang sempat memikirkannya. Tapi entah kenapa ia tak pernah mengatakan apapun kepada keluarganya. Pertanyaan itu sendiri bagaikan angin lalu yang datang dan pergi, sehingga Tara tak pernah menghiraukannya. Hingga kini pun, selalu ada bagian hatinya yang ingin melihat bagaimana masa depannya dengan Yusuf, tapi di sisi yang lain ada bayangan Azam yang selalu bersarang dihatinya.

Citra memperhatikan Tara. Ia yakin, bahkan Tara belum mampu menjawab pertanyaan yan ia lontarkan barusan.

"Apakah pria yang akan menikahimu itu adalah pria yang baik secara agama? Apakah Tara yakin pria itu akan menjadi imam yang baik bahkan jika ia kelak menikah dengan perempuan lain?" tanya Citra untuk kesekian kalinya.

Tara mengangguk pelan tanpa keraguan. Dirinya tahu betul bahwa Yusuf adalah pria yang menghargai wanita lebih dari apapun. Dan Tara juga tahu kalau Yusuf tak pernah menunda ataupun meninggalkan shalat. Baginya itu sudah cukup membuktikan kalau Yusuf adalah pria yang baik secara agama.

Citra menyeka tangis yang mengalir dipipi Tara dengan lembut.

"Kalau begitu, jangan kamu gantungkan harapan hidupmu kepada langit, yang bahkan tak bisa melihat seluruh isi bumi karena gelapnya malam. Jangan mendamba langit, karena bumi tak akan pernah bisa menggapainya." Citra mengusap lembut rambut Tara.

"Istikharah lah ra. Gantungkan doamu kepada Allah. Jika memang pria itu adalah jodohmu, maka biarkanlah Allah memainkan skenario terbaiknya untukmu."

###

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang