Dia Bumi, yang kukenal sejak ayahku dipindahtugaskan di Jakarta, dua tahun lalu. Rambutnya yang ikal dan acak-acak, kacamata dengan model clubmaster, menjelaskan kegilaannya pada hal-hal yang old school. Dia bilang, itu pertanda dia tak ingin pergi dari masalalu; masa-masa dimana orangtuanya masih tidur dalam satu ranjang yang sama; persis yang juga ia tiduri sampai umurnya menginjak delapan tahun. Sebab di umur ke-sembilan, pertengakaran itu lebih sering meramaikan rumah, ketimbang suara gelak tawanya. Hingga ibunya, sampai saat ini, lebih senang menyendiri.
Dan aku Ulan, teman Bumi, yang sering juga dipanggil oleh Bumi, Bulan. Seperti wanita kebanyakan, aku juga punya rahasia.
Aku lebih mengenal Bumi, ketimbang diriku sendiri. Dua tahun, bukan waktu yang singkat untuk mendengar dan menjadi tempat singgah untuk semua mimpi-mimpi lelaki ini. Tentang kecintaannya dengan sastra, membuatnya menjadi sangat mencintai kegelisahannya sendiri. Sebab katanya, dia harus gelisah setiap saat, karena dari sanalah inspirasinya selama ini. Dan itu semakin nyata, ketika kerut di keningnya lebih banyak bercerita ketimbang mulutnya, saat ia menatap lamat-lamat ke arah seorang wanita yang ku kenal adalah adik kelas kami di sekolah, Artari atau yang diberikan julukan oleh Bumi; Matahari.
Bagi seisi raga Bumi, Artari adalah sosok yang memberinya pelangi, setelah pekat kehidupannya, membanjiri hati. Bumi mencintai Artari. Kepalanya mengitari sosoknya, sembunyi-sembunyi.
Artari Subagio, putri seorang pejabat yang tak ingin kusebut namanya. Kulitnya yang bersih, matanya yang bulat, dan postur tubuh yang tinggi, membuatnya menjadi pusat perhatian para lelaki, termasuk Bumi.
Sore ini, di sebuah kedai kopi di daerah Kwitang, aku tengah mendengar Bumi bercerita tentang Taufik Ismail, sosok sastrawan yang dia idolakan. Meskipun aku tidak banyak mengerti apa yang dia bicarakan, namun menatap antusiasnya, menjadikaku seorang wanita yang lebih beruntung dari wanita manapun, termasuk Artari. Namun tiba-tiba Bumi mendadak diam.
"Lan, coba lihat langitnya." Sambil mengangkat alisnya, Bumi berisyarat agar aku melihat yang dia lihat.
"Cantik, ya?" Tanyanya. Aku mengangguk, setuju. "Aku ini Bumi, yang tidak pernah telat menyadari kecantikan Matahari, Lan" Lanjutnya, sembari tersenyum. Aku menatapnya lamat-lamat, merasa mengerti yang ada di jalan pikirannya. "Kapan ya Matahari sadar, kehadirannya memberi warna pada Bumi?" Tanyanya lagi.
"Mungkin Matahari sadar, tapi tidak peduli." Jawabku.
"Maksudnya?" Tanya Bumi.
"Tidak." Aku tersenyum menatap Bumi, yang memelas menatapku. "Aku ke toilet dulu, ya? Setelah itu kita pulang, ada yang mesti kukerjakan di rumah" Lanjutku.
Sore ini kita pulang dengan motor CB 125 peninggalan ayahnya. Kami bercerita tentang awal perkenalan kami, seakan lupa dengan percakapan tadi di kedai.
"Kamu ingat kan, dulu pertama kali masuk sekolah, pernah ngelaporin aku ke satpam komplek pas pulang sekolah, karena kamu ngeliat aku ikutin kamu dari belakang? Eh tahunya kita satu komplek, tetanggaan pula." Dia bertanya, dan kami tertawa bersama mengingat itu.
"Iya abis kamu kaya preman." Kataku, dan kami tertawa kembali. "Tapi kenapa waktu itu kamu gak pakai motor ini, tapi naik angkutan umum?" Tanyaku.
"Iya aku hukum, abisnya yang punya motor ini, gak pulang-pulang." Jawabnya, datar.
Sesampainya di rumahku, aku pun turun dari motor. Lalu aku memberinya secarik surat.
"Aku percaya padamu, Bumi. Buka surat ini besok pagi." Kataku, sebelum beranjak masuk ke rumah.
Adalah aku; Bulan yang meninggalkan Bumi dengan tanda tanya, teruntuk pagi.#
Dear Bumi,
Mungkin bagi seluruh raga Bumi, hanya Matahari yang memberinya pelangi. Namun percayalah, Bulan juga memberi pelangi, meski tak seterang Matahari. Dan Bulan lah yang membuat rotasi Bumi menjadi stabil.
Dan Bumi, ketika sebagian tubuhmu mengagumi Matahari, sesungguhnya kamu tengah membelakangi Bulan, yang memandangmu dari kejauhan.
Namun Bumi, Bulan tetaplah Bulan; yang menurut sebagian orang, adalah saudara dari Bumi. Ingatlah itu, Bumi.
Besok, aku akan pindah, ayahku dipindahtugaskan lagi ke Kalimantan. Maaf tidak memberitahumu, berat rasanya jika Bumi harus tahu kapan Bulan akan pergi. Kamu jangan kangen, ya. Aku masih di Bumi, kok. Hehe
See you, Bumi.
Tertanda,
Bulan-mu.
#
Pagi ini, di sebuah Bandara, aku duduk di sebuah ruang tunggu, berpangku tangan di atas koper abu-abu, milikku. Lantunan lagu Tom Rosenthal mengalun lembut di dinding-dinding telinga, dan menutup mataku yang resah.
Keep me here
My heart is near
My love has gone a-way
Tell me true
My heart is new
My love has gone a-way
Tiba-tiba pesan darimu masuk. Mendadak dadaku meriah, tanganku bergetar membukanya.
"Lan, ternyata aku Bumi yang tak berhenti mengitari Matahari, hanya untuk mencari keberadaan Bulan. Aku salah."
YOU ARE READING
BUMI
General FictionAkan tiba waktunya untuk kita percaya, bahwa tak ada yang selamanya.