Aku Bumi, yang masih mengitari Matahari, untuk mencari keberadaan Bulan.
Terdengar bodoh.
Persis sama dengan perpisahan orangtuaku, yang kupikir dulu, karena aku menangis meminta mereka merayakan ulang tahunku. Tapi tidak sebodoh itu, alasannya. Semua ternyata sudah dimulai di tahun 1995, waktu itu umurku lima tahun. Jakarta terasa panas, dengan ratusan orang-orang yang turun ke jalan minta disejahterakan, termasuk ayahku. Dia dipecat dari perusahaannya. Saat itu, kurang lebih, jumlah pengangguran tercatat sebanyak 6,3 juta jiwa. Setidaknya itu data dari artikel yang kubaca.
Yang kuingat, Ibu sering mengeluh kelakuan Ayah yang sudah tiga tahun tidak bekerja, dan semakin hari semakin malas. Bila keluar rumah, Ayah akan pulang dalam keadaan mabuk. Saat itulah, aku akan melihat Ayah memukul Ibu.
Sampai suatu hari, aku menangis meminta Ibu merayakan ulangtahunku. Saat itu Ibu hanya menatap ayah dari kejauhan, dengan wajah memelas. Dan hari itu juga Ayah pergi. Tepat di tanggal aku dilahirkan.
Sampai ketika aku mengenal Ulan, gadis berponi dan berkuncir kuda, yang pindah tepat di sebelah rumah.
Dua tahun aku mengenal Ulan. Dua tahun pula aku menyimpan mimpi di permukaannya. Gadis lugu yang mengatakan dirinya petualang sejati. Sebab memang, sebelumnya dia tak pernah lebih dari setahun tinggal di satu kota, dikarenakan pekerjaan ayahnya. Ulan atau yang sering kupanggil bulan, kini berada di posisi paling jauh dariku; Bumi. Namun kupercaya, dia ada, meski tak terlihat.
Dua tahun sudah, semenjak Ulan pindah ke Kalimantan. Dan saat ini, aku kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jakarta, karena nasib baik memberiku sebuah beasiswa. Dan nasib baik itu juga yang membuatku akhirnya memiliki Artari, si Matahari.
Awalnya semua berjalan seperti yang diharapkan. Artari memberiku pelangi hampir setiap hari. Gelak tawanya mampu memberi nyawa pada penghuni tubuhku. Namun semakin hari, aku merasa Artari terlalu tinggi untuk di raih. Aku memilikinya, namun tidak pernah merasa meraihnya. Entah. Namun itulah yang kurasa. Artari banyak bicara tentang kemewahan. Tentang kehidupan yang layak. Tentang kebesaran, yang mungkin bila kunekat mendekat, seketika aku akan melebur.
Dan malam ini, hujan jatuh, pun tak ada kabar dari Artari. Tak ada satu pun pesan masuk darinya. Dan aku hanya bisa menunggu, berharap ketika pagi, dia kembali menyapa, seperti biasa.
Dan seperti biasa, aku hanya bisa berharap dengannya.
Aku duduk termangu, di depan meja belajarku. Malam ini, aku merasa ingin menulis sesuatu tentang rindu. Tapi entah untuk siapa, aku tak tahu. Secarik kertas yang kusobek dari bukunya, berserakan di lantai. Tanda bahwa aku banyak gagal dalam mengartikan sebuah keinginan. Hingga pada akhirnya, tak ada satu kata pun yang kutulis.
Kututup bukuku, dan kumasukan ke dalam laci. Tapi belum sempat kumasukan, aku melihat selembar kertas yang terlipat empat di dalamnya. Kuambil dan kubuka, ternyata surat dari Ulan dua tahun yang lalu.
Ketika hujan sedang derasnya, Bumi merindukan Bulan.
"Aku Bumi yang terlalu lelah berlari dengan matahari, hingga telat menyadari kehadiran Bulan." Sebuah kata yang kutulis di belakang surat Ulan.
YOU ARE READING
BUMI
Fiction généraleAkan tiba waktunya untuk kita percaya, bahwa tak ada yang selamanya.