Bumi; Ulan

85 4 0
                                    

Word came through in a letter,
One of us changing our minds.
You won't need to guess who
Since I usually do not send letters to me
That are mine

I told him I saw this coming,
That I'd practically packed up my things.
I was glad at the time that I said I was fine
But all honesty knows, I wasn't ready, no

Lantunan Bluebird dari Sara Bareilles merenggut telingaku yang senyap, di hadapan malam. Malam ini, tubuhku terdampar di pesisir keresahaanku yang samudera, bersama dengan kepalaku yang gamang oleh khayalanku yang terlalu tinggi.

"Lan, besok pesawat jam berapa? Save flight, ya?" Gawaiku bergetar, ketika pesan dari laki-laki yang kukenal setahun ini, masuk.

"Jam 14.00, see you." Aku pun membalasnya.

Sudah dua tahun aku meninggalkan Jakarta; 10 besar kota yang paling dibenci di dunia, menurut berita CNN. Namun di Jakarta, aku menemukan satu buah cerita dari 9,9 juta kesempatan yang mungkin bisa dari mana saja aku dapat.

Bumi, laki-laki yang tak berhenti membuatku kagum dengan sudut pandanganya. Dua tahun lalu, aku pergi dari kekaguman itu. Tapi tidak seluruhnya. Sebab sampai saat ini, aku masih melihat apa yang kami lihat dua tahun yang lalu.

Bumi pernah mengatakan, bahwa pertemuan Bumi dengan Bulan seperti sinetron, berawal dengan tabrakan. Aku tertawa saat itu. Tapi Bumi masih dengan wajah yang serius mengatakan, "sebuah kejadian yang mungkin jika dipikir dengan rasional, adalah sebuah akhir, namun ternyata menjadi sebuah awal cerita." Aku tertegun menatap mata Bumi kala itu.

"Yang dipikir akhir, bisa jadi sebuah awal." Kataku lirih. Malam ini, aku terseret dalam ingatan masalalu, di meja belajarku. Remang-remang bulan di balik awan, masih terlihat lebih terang, dari pikiranku yang masih menerawang. Dan setan di kepalaku berbisik, jika esok beranjangsana sesaat, mungkin tidaklah menjadi kesalahan yang harus diperdebatkan.

#

Pagi, bersama dingin dan secangkir teh hangat bertemu dalam balutan degup jantung yang mengetuk dada kiri. Iramanya senada dengan degup jantungku, di malam ketika perpisahan itu dimeriahkan dengan secarik kertas yang dinodai sekelumit kata yang tak sempat terucap, di dua tahun kesempatan yang kupunya.

Dan pagi, menjadi lebih ramai dari suara-suara burung gereja di atap rumah, yang entah untuk sebuah pertemuan atau perpisahan. Tak ada beda. Sebab ditelingaku, keduanya tetap terdengar ramah.

#

Bandara, menjadi tempat yang kubenci dari cerita ini. Tempat yang menceritakan pertemuan sekaligus perpisahan dalam satu waktu, dan aku telah menjadi bagian dalam ceritanya. Aku sudah sering mendatangi bandara sejak usiaku menginjak lima tahun. Sejak itu juga, aku sudah menemukan banyak pertemuan dan perpisahaan.

Namun Bumi benar, "Yang dipikir akhir, bisa jadi awal." Kataku lirih, sembari berjalan memasuki kabin pesawat.


BUMIWhere stories live. Discover now