Bumi; Artari

103 6 0
                                    

Aku Artari, anak tunggal dari keluarga Subagio. Ibuku seorang Dokter, dan ayahku seorang Pegawai Negeri. Tapi harus kukatakan lebih awal, bahwa aku tak pernah memilih untuk terlahir di keluarga ini.

Aku sering mendengar mereka mengatakan, bahwa masalah di hidupku sudah terselesaikan ketika aku dilahirkan. Tapi mereka hanya seseorang yang tak berani mendekat, hingga tak melihat, bahwa sesungguhnya aku kesepian. Ibu lebih sering menghabiskan waktunya, di rumah sakit. Sedang Ayah, waktunya habis meladeni seseorang yang berbicara di telepon genggamnya. Maka menjadi perhatian orang lain, adalah pelarianku.

Sekali lagi kukatakan, aku tak pernah memilih untuk terlahir di keluarga seperti ini. Sebab bagi wanita sepertiku, mendapat perhatian lebih mudah ketimbang perasaan, dan itu jelas bukan sebuah kebanggaan.

Sampai akhirnya aku bertemu dengan Bumi, kakak kelasku; laki-laki yang kutahu, telah memperhatikanku sejak lama. Laki-laki yang kuketahui menganggapku sebagai Matahari. Meski awalnya, aku tidak peduli. Namun perlahan-lahan, aku mengerti. Jika kesempurnaannya, tak bicara banyak tentang keindahan.

Bumi terlalu mencintai masalalunya. Dia mencintai seluruh raganya yang belum terkontaminasi ego. Aku rasa, alasannya itu membuatku juga cinta. Namun sudah beberapa hari ini, Bumi kubenci. Ia tidak mengerti, bahwa yang tubuhnya lakukan hanya akan menghancurkannya.

Aku tidak suka melihat Bumi berantakan, dan aku juga tidak suka melihat Bumi merokok. Tapi penghuni tubuhnya tetap saja tidak peduli. Sudah kuisyaratkan berkali-kali, bahwa asap-asap itu kelak akan melemahkan Bumi. Namun itu tak membuatnya berhenti.

Malam ini, hujan jatuh membasahi perkarangan rumahku. Aku rindu sebagian dari Bumi yang membuatku menjadi berarti.

"Apa kamu baik-baik saja?" Pesan singkat dari Bumi, masuk ke telepon genggamku.

"Aku baik-baik saja, kau yang tidak." Kata hatiku.

Di tengah lamunanku, aku mengingat seorang wanita yang dulu selalu terlihat bersama Bumi. Ulan atau yang biasa dipanggil Bumi, Bulan, yang juga kakak kelasku. Dulu Bumi selalu bercerita tentangnya. Tentang bagaimana wanita itu menjadi tempat yang baik untuk mimpi-mimpinya. Aku tidak cemburu, sebab aku tahu, Bumi berpusat padaku. Tapi ada saat dimana aku merasa, Bumi merindukannya.

Dan malam ini, lagi-lagi aku merasa sepi.

#

Pagi. Semburat cahaya menembus masuk melewati jendela, dan menyebar ke setiap sudut kamarku.

Aku berlari keluar kamar, menuruni tangga, mengambil sepotong roti di meja makan yang selalu sepi, dan pergi. Aku terlambat bangun pagi ini, hari ini mata kuliah Biosains menanti sekitar 20 menit lagi. Pikiranku kacau, tapi lebih kacau lagi ketika kumendapati seseorang dengan wajah yang kukenal lama, berdiri di depan pagar.

"Marsel?" Aku tersentak, kaget.

"Selamat pagi, Artari." Dia tersenyum dari kejauhan.

"Sejak kapan kamu pulang ke Indonesia?" Aku bertanya, sambil berjalan menghampirinya.

"Well,..." Dia mencoba menjelaskan.

"Tunggu! Di mobil saja. Kamu bisa antar aku ke kampus, kan?" kataku, memotong ucapannya.

Marselino Adrian Brahma, anak dari sahabat ayahku atau sebut saja dia mantan kekasihku. Meski aku masih membencinya sampai saat ini. Di sepanjang jalan, dia selalu bercerita tentang senangnya ketika dia akan pulang ke Indonesia. Katanya, karenaku. Aku tidak percaya.

Sesampainya di Kampus, aku segera membuka pintu mobil, dan berlari. Belum jauh langkahku, aku berbalik.

"Oh iya, Mars. Aku ada kelas. Terima kasih tumpangannya." Kataku, sambil tetap berlari mundur. Lalu sesuatu menabrak tubuhku dari belakang.

"Bumi?" Kataku, lirih. Ketika kumendapati seseorang yang menangkap tubuhku dari belakang adalah Bumi.

"Aku tahu, kamu pasti belum sarapan." Bumi memberikan sebuah kotak makan, dan pergi tanpa berucap apa-apa lagi.

"Bumi?" Kataku lagi, lirih.

Marsel menurutku memang cukup tampan, dan hidup dalam kemapanan. Namun ketidakstabilannya membuat atom, ion, dan molekul-molekul di tubuhku tidak bisa hidup di dalamnya. Dia bukan perayu ulung. Tapi selalu beruntung. Digandrungi banyak wanita yang mencoba memperlajarinya, membuatnya menjadi seseorang yang tak perlu mengejar sesuatu untuk mendapatkan kesenangan.

Dan Bumi.

Kau berbeda, sementara hanya itu yang kutahu. Mungkin setelah ini, kau akan membenciku. Seandainya kita tidak sedang di jarak terjauh, mungkin aku akan memelukmu dan mengatakan bahwa, jika ada alasan Matahari meninggalkan Bumi. Maka itu berarti adalah sebuah alasan yang tidak satu manusia pun mengerti.    

BUMIWhere stories live. Discover now