Biarkan Lucas menyelesaikan masalah Emillia menggunakan metodenya.***
Itu cangkir kopi kedua sore ini.
Emillia masih betah memanjakan bokongnya pada kursi kafe sejak pukul lima tadi. Bercengkerama dengan sesosok orang asing (yang sepertinya) berpangkat Psikolog; nama, Lucas. Awalnya ia direkomendasikan oleh teman sesama alumni universitas untuk membantu Emillia mengatasi masalah insomnia akut serta patah hati tak kunjung sirna. Namun seiring detik, yang terjadi setengahnya adalah senyap.
Obrolan diawali dengan saling memperkenalkan diri, hal yang umum yang dilakukan oleh dua insan tak saling kenal. Kemudian Emillia menjelaskan masalahnya dan Lucas setia mengangguki. Diam-diam Emillia bertanya apakah ia bertemu dengan orang yang benar atau ia salah menghampiri teman janji. Karena pria tua di sudut etalase sana tampak lebih menjanjikan sebagai seorang Psikolog.
Kerap kali Emillia dengar helaan napas pria bernama Lucas ini. Entah ia bosan atau apa, Emillia tak mau terlalu mengambil kesimpulan asa. Tapi, dari caranya meraih tatapan Emillia ketika dirinya tengah bertutur cukup membuat desir aneh dalam dada. Emillia, usia menginjak dua tujuh, jatuh hati secepat siswa sekolahan.
Ketika lirik itu berhenti padanya, Emillia harus menahan kuat-kuat gelagap aneh yang mungkin akan keluar. Sial, sial, sial, ia menyumpahi diri sendiri. Gemetar hati dan otak kompak menertawakan sang pelaku.
"Dengar Nona Emillia, aku tidak pernah mengira hari ini akan begitu mengejutkan. Seorang wanita rupawan tiba-tiba duduk di depanku, kemudian memperkenalkan diri dan langsung bercerita hal pribadi. Sejujurnya, aku adalah seorang bartender, terima kasih."
Mengapa hal ini terjadi padanya, pada Emillia. Apakah kurang tidur mempengaruhi tingkah laku memalukan Emillia hari ini? Benar saja, pria tua di sana terlihat aneh karena beberapa kali memeriksa jam tangannya. Biar Emillia tebak, ia bertanya-tanya mana klien yang berjanji ingin bertemu sore ini.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Ya ampun, Emillia ingin pulang saja.
"Tapi, bukan berarti aku tidak mengerti keadaanmu. Kupikir, ada baiknya kau memakai metode lain untuk mengatasi insomnia dan ... apa tadi? Oh benar, patah hati." Tuturnya seperti menampar Emillia beserta rasa malu luar biasa.
"M-maafkan aku, Tuan Lucas."
"Tidak apa-apa. Aku juga merasa bersalah karena hanya memperkenalkan nama." Lucas meraih ponselnya dan memberikannya pada lawannya, "Masukkan kontakmu, akan kuhubungi kau jika aku tak sibuk. Anggap saja kita impas."
"Kau yakin?"
Anggukan Lucas setelah itu menjadikan lampu hijau tindakan Emillia yang mengisi layar ponsel dengan nomer dan alamat surel pribadi, "Sekali lagi, aku minta maaf."
Lucas tersenyum, "Sungguh, tidak apa-apa, Nona Emillia." Ia mengambil kembali ponselnya, "Apa kau ada acara setelah ini?"
"Aku rasa tidak ada."
"Mau menemaniku pergi ke bioskop?"
Jawaban Emillia tentu saja anggukan iya penuh semangat. Lantas Lucas terkekeh geli dan segera memanggil pelayan. Tiga cangkir kopi dibayar menggunakan uangnya (meski Emillia bersikeras ingin membayar sendiri).
Mereka keluar dari kafe, diam-diam Emillia melirik sang Psikolog yang masih duduk di dekat etalase. Posisinya di samping kiri Lucas, memberi jarak sedikit agar pundaknya tak bersentuhan. Matanya ke sana ke mari, mencoba mencari suasana hati di atas kegembiraan yang menghampiri.
"Kau ingin menonton apa, Nona Emillia?" tanyanya meraih kesadaran pria di sisinya. "Jujur saja, aku harap kau tak menjawab film roman."
Tawa Emillia terdengar begitu indah, "Tenang saja, aku juga tak begitu senang dengan film seperti itu. Terserah kau saja, Tuan Lucas."

KAMU SEDANG MEMBACA
lebur
Ficción GeneralMeleburkan diri dan jiwa pada aksara yang tertera, tidak akan merusak hidup serta bahtera. Kompilasi kisah yang sudah pernah saya publikasi dalam bentuk fanfiksi menggunakan nama pena yang lain. 1. Kokobop 2. Ucapan yang Biasa, dari Orang Luar Biasa...