Nona Pengantar Pizza

9 2 0
                                    

Nona pengantar pizza, maukah Engkau mengantarku ke masa depan yang cerah sebagai suamimu?

***

Cesile berteriak (lagi).

"Cesile, berhenti berteriak! Kau tidak tahu bagaimana rasanya—"

Pintu ruangan manajer terbuka, Cesile berkacak pinggang. "Berapa yang kau mau? Dua puluh persen? Lima puluh persen?"

Mera meneguk ludah, ujung topi bersablon logo British Pizza dipegang. "Tentang apa?"

"Tentang gaji diturunkan."

"Jangan jahat begitu padaku! Kau lupa aku sering meminjamkan pensil padamu waktu kita masih kecil? Pensil motif beruang, ingat? Ayolah."

Wajah Cesile tidak berubah. "Jadi, mau berapa persen?"

Permukaan kardus kotak pizza ditampar. Mera memeluknya dengan wajah masam. "Aku minta tujuh puluh persen gajiku dinaikkan setelah mengantar pizza ini."

Perdebatan itu dimenangkan Cesile, manajer restoran pizza terkenal seantero kota. Lagi. Pengunjung menonton mereka melempar adu lisan hampir setiap hari (beberapanya memasang taruhan; pemuda di dekat etalase bersedih karena harus menyerahkan 25 poundsterling pada kawannya yang bersorak gembira). Karena hampir setiap hari, suara bariton pria memesan pizza ukuran deluks dengan tambahan
topping jamur, daging, dan paprika, dan meminta pegawai British Pizza bernama Mera yang mengantarkannya. Khusus.

Atas nama Dannis. Lelaki kurang ajar yang sering menorehkan senyum ala-ala pujangga setiap kali Mera menekan bel kamar apartemennya. Dan satu gombalan spesial sebelum Mera melesat pergi.

Alkisah, satu bulan yang lalu. Mera, untuk pertama kalinya diminta Cesile untuk mengantarkan pizza seharian (karena pegawai khusus tukang antar mereka sedang ada cuti keluar kota, katanya. Mera menemukan Erick berkencan di sebuah kafe, astaga). Bukan keahliannya sebenarnya, mengendarai skuter dengan setelan seragam pegawai restoran makanan Italia seraya mencari alamat pemesan. Ia kerap tersesat di beberapa jalan kecil.

Tapi, kini?

"Wah, halo Nona pengantar pizza. Kita bertemu lagi. Apakah ini yang dinamakan takdir? Oh, tentu saja. Betapa senangnya hati ini."

Ekspresi Mera terlihat ingin muntah (Dannis pura-pura tidak melihat). Ia menyerahkan kotak pizza, ujungnya mengenai perut lawan.

"Aw, pelan-pelan, cantik. Jangan agresif begitu."

Cesile, asal kau tahu, Mera muak denganmu, Mera muak dengan Tuan Dannis ini, Mera muak dengan dunia yang ia jalani.

"Tolong segera diterima dan dibayar. Agar aku bisa segera pergi."

Dannis merogoh dopet. "Buru-buru sekali. Tidak mau masuk dulu? Aku punya banyak kaset film, kebetulan."

Kebetulan sekali Mera penikmat film suspense di mana darah mencirat ke sana-kemari, pisau menusuk sembarang organ, misteri pembunuhan dengan plot twist apik, tanpa bumbu roman atau humor atau drama atau semacamnya sedikit pun. Kebetulan sekali.

"Tidak, terima kasih." Mera menerima bayarannya. "Aku pergi."

Pintu besi lift hampir menutup, suara Dannis terdengar dari kejauhan.

"Lain kali ikutlah makan bersamaku!"

Mera mendadak ingin buang air besar.

***

Keesokan harinya.

Matahari bersinar begitu cerah. Bibi penjual bunga di depan rumah menyapa dengan ramah, Bobby—anjing tetangganya yang super lucu—mendekatinya secara misterius (mungkin Mera masih beraroma pizza mengingat ia lembur sampai pukul sebelas malam dan tidur di rumah tanpa mandi), tabloid langganan terbit dengan sampul utama terpampang foto idola berpose di atas gunung. Hari yang indah.

leburTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang