Esok harinya Krystal kembali menyambangi ruang yang sama di kamar nomor 311 untuk mengontrol pasien tersebut, namun bedanya kali ini tidak ada sosok sang ibu di sana.
"Selamat pagi," sapa Krystal.
"Pagi." Kali ini Kai menjawab sapaannya karena tidak ada orang lain di sana selain mereka.
"Ada keluhan?"
"Cukup banyak," jawab Kai yang membuat alis Krystal berkerut. Seingatnya hasil pemeriksaan pria ini sudah berangsur membaik, lalu kenapa ia merasakan banyak keluhan?
"Oh ya? Apa?"
"Kenapa Ibu saya terlalu menekan saya untuk menikah?"
Tawa Krystal menguar tanpa bisa dicegah. Sebelumnya Krystal kira laki-laki ini serius saat menjawab pertanyaannya tentang keluhan. Ternyata ia hanya mengartikannya secara harfiah.
"Sebagai dokter saya nggak bisa obati keluhan itu, Tuan Kaisar."
"Lalu apa ada yang bisa obati keluhan saya yang ini?" tanyanya kemudian.
"Kalau itu cuma Anda sendiri yang bisa obati."
Kai menatap Krystal dengan pandangan bertanya. "Saya?"
Krystal mengangguk. "Ya, cuma Anda." Kemudian Krystal beranjak mendekati jendela dan membuka gorden kamar perawatan 311 menjadi lebih lebar hingga cahaya matahari yang mengintip dari luar semakin mudah untuk masuk.
"Kalau keluhan itu sebetulnya Anda sudah tau obatnya, cuma mungkin Anda mencoba mengabaikannya."
Menikah. Itu lah jawaban yang Krystal maksudkan. Dan Kai tahu dengan pasti akan hal itu.
"Saya mohon maaf kalau ibu saya mengganggu dokter," ucap Kai dengan tidak enak.
"Setiap orangtua pada dasarnya menginginkan yang terbaik untuk anaknya," jelas Krystal. "Tentunya menurut versi mereka," tambahnya kemudian.
"Ya, terbaik versi mereka." Kai mengulang kalimat Krystal dengan penuh penekanan sebagai tanda persetujuan.
"Kalau dokter mau block nomor ibu saya gapapa, saya rasa dokter mempunyai banyak kegiatan yang lebih penting dibandingkan mendengar ocehan ibu saya yang nggak ada habisnya."
Krystal tertawa. "Ibu Anda tidak pernah menghubungi saya."
Wajah Kaisar mendadak pias. "Lalu? nomornya?"
Kai mendadak bingung. Kalau Ibunya tidak menghubungi dokter itu kenapa ia meminta nomornya?
"Setiap orangtua mempunyai cara khusus dalam mengerjai anaknya," timpal Krystal dengan sebuah senyuman. Sepertinya pria itu belum mengerti maksud dan tujuan ibunya, pikir Krystal.
"Ah, dasar Ibu, bikin malu aja." Kai menggaruk bagian pipinya dengan kikuk. Ia sebetulnya tidak berniat mengajak dokter cantik ini untuk mengobrol, hanya mencoba beramah-tamah karena takut sang ibu bertingkah dan melakukan sesuatu yang mengganggu dokter cantik itu.
"Saya rasa Anda perlu banyak belajar mengenai modus yang kerap dilakukan orangtua agar anak mereka cepat menikah."
"Sepertinya Anda benar-benar berpengalaman ya?" Kai takjub sekaligus geli.
"Dalam lima tahun terakhir, cukup banyak pengalaman saya dalam menghindari modus-modus seperti itu."
Kai mengerti bahwa ia tak sendirian. Ternyata ia bertemu dengan orang yang bernasib serupa.
"Kalau begitu, boleh saya minta nomor telepon Anda?"
Pertemuan berikutnya terjadi di luar rumah sakit. Kafe di dekat kantor Kaisar menjadi pilihannya. Kai bekerja di sebuah Firma Hukum yang bernama Suhodinali Wibisana & partners yang berjarak kurang lebih delapan kilometer dari rumah sakit tempatnya bekerja.
"Jadi Ibu dokter, apa saja modus-modus yang dilakukan orangtua agar anaknya cepat menikah?"
"First of all, i'm not your doctor anymore Mr. Pradipta. Don't call me in that way."
"Okay then. I will call you by name." Kai meralat ucapannya buru-buru. "Jadi, Krystal, apa modusnya?"
"Pertama-tama mungkin mereka nggak akan keras atau ngomong langsung. Contohnya dengan menyinggung teman dekat kita yang sudah menikah atau punya anak. Itu salah satu modus mereka."
"Lalu?"
"Setelah tahap itu terlewati, yang kedua mereka akan mulai menanyakan tentang sosok pasangan."
"Yang ketiga?"
"Mereka mulai meminta kerabat mengenalkan kita dengan lawan jenis atau mempromosikan diri kita ke lingkungan pertemanannya. Yang Ibumu kemarin lakukan juga bisa termasuk ke tahap ini."
"Masih ada lagi?" tanya Kai.
"Masih. Dan ini yang terakhir. Cara paling kuno tapi paling efektif bagi mereka."
"Apa itu?"
"Perjodohan dengan kedok perkenalan."
"Perjodohan dengan kedok perkenalan?" ulang Kai dengan bingung. "Itu gimana?"
"Intinya kita akan 'dikenalkan' dengan orang lain, lalu kita tidak akan diberi opsi untuk menolak."
"Lalu kamu sudah sampai tahap yang mana Krys?"
"Tahap keempat."
"Jadi kamu sudah dijodohkan?" Kai terlihat cukup terkejut.
"Iya, tapi kami belum bertemu. Mungkin aku akan menggunakan manuver lain untuk menghindari ini."
"Apa yang membuat kamu menghindari komitmen pernikahan Krys?"
"Aku nggak mau dikekang."
"Pernikahan bukan untuk mengekang bukan?"
"Semestinya. Tetapi yang terjadi di lapangan sebaliknya. Teman-temanku kehilangan kebebasan mereka dalam segala hal setelah menikah. Karir, hobi, bahkan waktu hang out."
Krystal mengingat bagaimana Egita yang seoeang model sukses yang sedang berada si puncak karir meninggalkan mimpinya karena tuntutan sang suami. Jansen, si pria protektif sekaligus posesif itu tidak ingin istrinya terjun lagi ke dalam dunia permodelan yang telah membesarkan nama Egi. Itu hanya salah satu contoh, masih banyak contoh lainnya yang tak bisa Krystal sebutkan.
Kaisar terdiam. Mencoba menelaah lebih jauh pandangan perempuan ini tentang komitmen sebuah pernikahan. Menarik, batinnya.
"Kalau kamu sendiri?" Krystal balik bertanya.
"Masa lalu yang mengajarkanku untuk tidak mempercayai sebuah komitmen, Krys. Komitmen bisa dibuat dan dilanggar oleh siapa pun."
"Jadi kamu nggak akan menikah?"
"Inginnya, tapi orangtuaku pasti akan kecewa dengan keputusanku."
Krystal mengamini jawaban Kaisar dalam hati. Sejujurnya ia pun tak ingin terjebak dalam sebuah mahligai pernikahan. Namun orangtuanya pasti akan mengeluarkan ceramah panjang lebarnya.
"Yeah, orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya menurut versi mereka." Krystal mengulang kembali pernyataannya.
Kaisar tersenyum, merasa sedikit lega menemukan orang yang satu pemikiran dengannya.
"Bagaimana kalau kita menikah Krys?"
Kembali ke masa sekarang, di mana Egita sedang mengobrol bersama Krystal.
Egita menjadi pihak pasif yang mendengar penuturan Krystal yang bercerita mengenai awal rencana pernikahannya bersama seorang pengacara yang bernama Kaisar Pradipta.
"Dan lo mengiyakan ajakannya?" tanya Egita sedikit histeris.
Meski waktu itu Krystal tidak langsung menjawab, pada akhirnya iya mengiyakan ajakkan Kaisar. "Kalau enggak, nggak mungkin gue kirim undangan kan?"
Egita mendesah frustasi. "Lo Gila?"
"Ini udah ke berapa kalinya lo ngomong gitu," jawab Krystal enteng sambil menyesap iced coffee vietnamese-nya.
Egita sungguh ingin membedah isi kepala sahabatnya. Pernikahan bukanlah untuk mainan, jika kau berniat seperti itu maka suatu saat pernikahan juga lah yang akan mempermainkanmu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The After Ending
RomanceKai dan Krystal dipersatukan oleh sebuah ikatan pernikahan karena memiliki prinsip yang sama dalam memandang sebuah komitmen. Lalu bagaimana jika keduanya menemukan cinta lainnya? Akankah mereka tetap pada prinsip yang sama?