2. cheap thrills

60 4 4
                                    

"Ugh, jadi gitu ceritanya Gin. Aku masih kesal sama si Duan anak kelasku, bisa-bisanya dia ngarang kalo anak baru itu pindahan dari Jawa. Rasanya pengen mati aja deh, malu banget!" uneg-unegku ke Gina. Anak manis satu-satunya yang jadi sandaranku, tempatku mengadu dan berkeluh kesah. Penghiburku di saat duka, penolong saat terluka dan ikut bergembira kala bahagia.

*preet*

Aku mengenalnya sejak tahun lalu, sejak kami jadi satu kelompok pada saat MOS. Waktu itu kupikir dia anaknya polos pendiam, sebab selama 3 hari orientasi dia ga banyak ngomong. Pas ditanya nama juga jawabnya cuma "Gin."

Semua berubah setelah kegiatan belajar-mengajar dimulai. Sifat aslinya keluar deh. Urakan, ga pernah dandan--penganut kepercayaan cantik natural garis keras dan untungnya berbanding lurus dengan fakta. Sering bolos juga ke warung kopi Pak Yamin di belakang sekolah, dan tentunya sambil ngerokok. Lakik banget kan? Aku sempet mikir kalo dia lesbi malah.

Kok bisa akrab? Padahal beda kelas?

Ya ga tau sih, mungkin karena awalnya satu kelompok. Gina ini sebenernya ga masalah dengan interaksi. Tapi coba pikir pake akal sehat deh. Siapa coba yang mau temenan sama anak model Gina ini? Ya kecuali geng-geng nakal di sekolah sih, yang pasti cowo semua. Dan tentunya bakal manfaatin Gina buat jadi objek mainan mereka, paling nggak buat grepe-grepe.

Poor Gina :*

Tapi aku ga masalahin, selama dia ga fake. Aslinya baik kok ni anak!

"Hahaha kampret Dil, salahmu juga sih sok asik betul jadi manusia. Ngapain coba kamu peduli? Mau jadi pahlawan?" katanya sambil ngitung biji manik gelang yang dipegangnya. Dari tadi ni anak milih gelang aja ribet banget, musti ya diitung dulu tu manik? Emang mau dipake tasbih?
Solat aja jarang!

"Lah, aku tu cuma pengen kelas jadi kondusif. Gaenak tau ngeliat anak yang kayak gitu, seakan-akan kami ngabaikan dia. Sapa tau dia bakal depresi? Tar malah bunuh diri, gimana coba? Kita ini anak IPS po, skill sosialmu musti diasah" jawabku diplomatis. Gaya banget. "lagian coba ingat, kalo dulu aku nggak sok akrab ke kamu di wc dulu, mana tau gimana nasibmu sekarang abis digangguin kakak kelas. Berguna juga kan aku ini!" Kataku lagi sumringah. Tiba-tiba berasa pahlawan beneran nih.

Gina mandang aku datar, "taik."

Tawaku pecah kemudian. Dijalan sempit ini, di tengah pasar malam kamis yang sedikit gerimis suaraku tenggelam dengan bising riuh orang-orang yang memadati lalu lalang. Sepetak tanah kosong di sisi jalan penuh orang berkumpul nenyaksikan demo khasiat obat mujarab. Muda-mudi, pasangan dan beberapa preman parkir yang menata motor. Anak kecil menangis minta belikan mainan, kerlap kerlip lampu dan aroma pentol bakar memenuhi udara. Disamping lapak aksesoris ribut sekali penjual film dan lagu bajakan, memutar volume tinggi lagu pop yang sedang naik daun. Kata Gina, om itu dulu ketika masih zaman orang pake dvd diam-diam menjual film porno sampai ketahuan pak RT, padahal anaknya pelanggan setia. Ironis memang.

Rumah Gina ada di daerah sini, tapi diluar area pasar malam. Aku sering menginap dirumahnya. Ibunya juga udah biasa nampung anak orang, makanya aku betah. Bahkan beberapa setel bajuku sengaja kutinggal di sana, biar ga ribet dalam keadaan darurat. Seperti malam ini.

"ding, milih gelang aja lama betul. Tiga orang dah beli tapi nyawa masih milih, mau sampai jam 1 kah?" canda mamank lapak.
Eh, I mean sindirnya.

Emang nih Gina ga tau diri, dikira ga capek apa berdiri kayak patung. Dari tadi aku ngasih saran juga dicuekin.

Setengah jam kemudian, akhirnya Gina udah dapat gelang yang menurutnya cocok dengan auranya. Aku cuma manggut-manggut dengerin dia yang jelasin filosofi dibalik aksesoris murahan pilihannya itu. Receh.

Pasar malam mulai sepi, beberapa pedagang sudah mulai membongkar tenda dan barang kembali dikemas untuk dibawa pulang. Usai sudah perjuangan mereka mencari nafkah malam ini. Kamipun balik ke rumah Gina. Iya, aku berencana menginap di tempatnya.

Sambil jalan, aku merasa sedang diperhatikan. Orang itu ada di parkiran, sudah memakai helm dan bermasker. Tipikal penjahat kelamin. Aku refleks bergegas,

"Woi, gapernah liat cewek cantik apa? Biasa aja liatinnya!" Gina merepet di sebelahku. Kukira dia ga nyadar kalo lagi diliatin juga.

Ya jelas aja aku shock, niatnya tadi mau ngehindari masalah malah nantang ni anak. Hampir aja aku lari seandainya Gina nggak nahan tanganku, mencari dukungan mungkin. Untung aja rumahnya dekat, kalau ada apa-apa tinggal lari.

Penjahat kelamin itu terkekeh, kemudian melepas helm dan maskernya. Aku bakal teriak kalau sampai dia pengen ngebajak atau nyulik kami. Tapi aku malah mendesah lega abis liat mukanya. Gina masih melotot disebelahku.

"Apa kam!" dih masih ngegas ni anak. Tuh cowok akhirnya mendekati kami. Dia terus memandangku lurus, tak peduli dengan umpatan-umpatan Gina menyerangnya kemudian.

"Hai, ngapain disini?" sapanya akrab. Aku tersenyum, "ini nemani teman beli aksesoris, kamu ngapain?"

Gina celingukan, tak mengerti situasi.

"Err, hai. Aku temennya Fadila, kami satu sekolah" katanya kemudian ke Gina. Dia masih bingung rupanya. "Eh sori, iya aku juga temennya Dila. Kirain preman tadi hehe".

Setelahnya kami tertawa. Aku ngerasa tenang sekarang. Dia kemudian bilang kalau dia juga tadi sedang bersama temannya disini, dan mereka berencana akan ngumpul-ngumpul di gang sebelah. Aku dan Gina ho-oh berjamaah.

"Dil, namanya siapa? Kok nda pernah liat dia di sekolah, culun kah?" bisik Gina sambil nyolek-nyolek pinggangku kasar.

Hei, aku baru tersadar. Ini anak yang tadi siang habis-habisan kumaki dalam hati. Yang sok kalem, sok pendiam, sok cool. Yang bikin sisa hariku di sekolah jadi bahan bulian anak satu kelas. Anak yang bahkan aku sampai lupa tanya balik namanya. Iya ya, siapa namanya?

"Gatau Gin, aku lupa tanya tadi. Keduluan eneg aku sama mukanya" kataku dingin. Moodku ingin beramah-tamah langsung ambruk teringat kejadian tadi siang. "Hah?" Gina kembali bingung. Sigap aku menyeret anak ini pergi dari lokasi.

"Eh nama kamu siapa? Aku Gina, id line ku Ginatatam12!" teriak Gina norak. Aku terus aja jalan cepat tanpa peduli lagi, cowok itu terus berseru memanggil kami.

***




-tbhidoc

Lost in Your MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang