4. A Shady Shade

22 4 6
                                    

Bel masuk setelah istirahat pertama berbunyi tiga kali dengan keras dari toa sekolah. Sebuah barisan mengantri untuk soto di kantin tiba-tiba membubarkan diri sambil menggerutu, bahkan tak sempat memesan sarapan mereka.
Yang lain tampak terburu-buru menghabiskan makanan, kecuali murid kelas 3. Mereka sepertinya sudah kebal hukum, dan ingin menikmati saat-saat terakhir di SMA.

Dan kami, sepasang gadis jelita nan rapi yang bahkan masih memikul tas di punggung, berada di tengah mereka.

"Apanya yang rembes, Dil?" Gina merapikan rambut sambil menyuap nasi terakhirnya, mengunyah sedikit dan langsung menelan.
Aku refleks meminum es tehku. Aneh, rasanya seperti aku yang tersedak.
"Tadi kan udah cuci muka tuh, hum. Aku juga ngehabisin setengah botol handbody-ku sampai baunya bikin eneg."

Aku tak tahu lagi batas kewajaran yang bisa dimaklumi Gina untuk bisa seacuh ini dengan penampilan. Dia bahkan tak menyempatkan diri untuk mandi dengan alasan sudah terlambat, meski dengan sabar menungguku untuk bersiap berangkat–sambil menggedor kamar mandi dengan putus asa tentunya. Apa dia tak mau, seeenggaknya, menjaga image untuk gebetannya?

Gina meraih es tehku dan menenggaknya sampai habis, padahal aku masih haus.

"Matamu tuh, masih kayak orang ngobat. Jalur uratnya masih keliatan jelas di sebelah kiri, kenapa kita ga beli i*sto dulu sih tadi!"

Aku menghisap kuah soto dari sendok dengan perlahan, sambil memperhatikan sekeliling. Penghuni kantin hanya tersisa gerombolan kakak kelas yang rasanya seperti mengintimidasi, tapi sekaligus bagai pengaman dari guru-guru menyebalkan yang ingin menginspeksi.

"Kamu paham kan, maksudku?"

Kali ini aku berbisik sangat pelan kepada Gina. Dia mengangguk samar, kini mawas bahwa seseorang menyadari keberadaan kami dari sebelah kiri.

Gina memelototkan matanya ke arah meja dan mengerjap kuat-kuat. Seperti berusaha meyakinkan dirinya bahwa dia sudah tak lagi mengantuk, berharap matanya yang masih merah itu akan mengerti. Aku ingin tertawa setiap kali dia melakukan hal tersebut, tapi nyatanya selalu berhasil. Apa sugesti itu benar-benar manjur?

Orang itu kini melangkah mendekati kami, dan Gina terlihat gemas ingin meninju matanya yang sayu. Aku tak sabar menonton adegan paling canggung yang akan dilakoni Gina, pasti seru. Tapi ternyata orang itu berbelok menuju stand pecel, dan bercengkrama dengan ibu penjaganya. Gina masih saja rikuh tak karuan, berusaha mengkerdilkan diri ke dalam kursi.

"Kak Rodi langsung balik ya? Pasti gara-gara aku bau." Katanya sedih.

Aku terkekeh, "Bisa jadi sih. eh, tapi tuh liat, dia ke sini bawa minuman."

Kak Rodi menghampiri kami dan langsung duduk di sebelah Gina, yang sekarang terlihat sangat terkejut.

"Nih minum, mumpung masih anget susu jahenya." Dia menyodorkan minuman langsung ke mulut Gina, terlalu romantis sampai membuatku geli.

Gina tak menjawab, dia hanya menyambut minuman itu dan mengikuti perintah Kak Rodi. Satu tangannya berusaha mengeluarkan sesuatu dari saku tas.

"Gausah diganti, cuman 10 ribu. Kecuali kalau kubeliin starb*ck. Kamu musti ganti, bayarnya pake dua kotak sampo*rna. Hahahaha." Kak Rodi tertawa dengan gurauannya sendiri.

Gina melirik kagum dengan perlakuan Kak Rodi barusan, tapi tetap menunjukkan dompetnya dan mengeluarkan selembar 50 ribu yang langsung kusambar.
"Buat bayar makanan kita." Titahku. Gina hanya melotot jengkel.

Kak Rodi kemudian bergeser sedikit dari personal space Gina. Dia menghadapiku sekarang.

"Kok telat, sih? Kalian habis ngapain tadi malam?" nadanya tiba-tiba berubah defensif. "Kan kalian jadinya dapat hukuman, bantuin Pak Kasman bersihin koridor sepulang nanti. Kamu ngajak Gina keluyuran ya?"

Lost in Your MindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang