Prolog

83 8 0
                                    

Di sinilah kini Retha terdiam, kamar tidur ukuran 3×3 meter dengan nuansa abu-abu yang begitu dominan. Jendela besarnya tengah menunjukkan awan-awan kelabu yang diprediksi akan menangis hebat malam ini. Retha pun menyandarkan kepalanya di sandaran kursi roda usang miliknya.

Matanya memejam, ingatannya terbang ke masa lalu, menjelma menjadi rasa rindu yang tak bisa dilebur. "Retha rindu Ayah, mengapa maut tergesa-gesa mengambil Ayah dari dekapan Retha?," tanya batin Retha, matanya berkaca-kaca. Tuhan telah dirasanya tak adil ketika kedua kaki Retha pun harus lumpuh, lunglai tak berdaya akibat insiden kecelakaan yang juga merenggut sosok pemimpin keluarga kecilnya.

Kerinduan Retha akan ayahnya kian membuncah dikala ia menyenandungkan bait-bait puisi indah yang ayahnya tinggalkan dalam sebuah buku jurnal tua. Buku bersimpul merah usang yang kini lebih sering diisi oleh bait-bait puisi indah yang Retha buat. Buku dari bait-bait puisi yang menjadi tempatnya mencurahkan kerinduan. Tempat persembunyian paling aman dari perasaan cinta rahasianya.

Sekali lagi Retha menghela nafas dalam-dalam. Tangisnya mulai mereda. Kali ini senyumnya merekah mengingat sesosok laki-laki yang selalu menemani masa-masa sulitnya. Menemani selangkah demi selangkah kaki lusuhnya belajar berjalan menapaki bumi kembali. Bagi Retha, gravitasi bumi selalu menghilang ketika semesta mempertemukan Retha dengannya.

Dialah, Athalla Asyauki Hendra.

Laki-laki dengan segenap kasih dan tingkah konyolnya mampu merubah kehidupan Retha yang kelabu menjadi penuh warna. Athalla lah Inspirasi bagi setiap bait yang Retha susun. Rumah bagi segala keluh kesahnya, muara dari segala rasa yang tak pernah ia sampaikan. Pria yang didambanya dalam doa, agar kelak menjadi rumah bagi setiap bait-bait puisinya yang tak bertuan.

Bait Tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang