who?

63 5 1
                                    

Retha POV

Sapuan hangat mentari pagi menerpa wajahku melalui sela-sela tirai jendela yang ku tutup rapat malam tadi. Kicauan kecil burung gereja yang berderet menari-nari diluar jendela menjadi alarm rutin di setiap pagi.

Kicaunya hampir terdengar seperti suara cicit tikus yang sudah barang rutin mencuri persediaan bahan toko kue ibuku di gudang penyimpanan bahan.

Akibatnya, Ibu harus pintar-pintar mengakali dengan mengurangi jumlah takaran bahan atau menaikkan harga jual yang beresiko mengurangi jumlah pembeli.

Pernah sekali aku dan Dita nekat melakukan perburuan tikus di dalam gudang penyimpanan bahan makanan. Berbekal sebuah pemukul baseball dan balok kayu, kami memeriksa setiap sudut tumpukan barang.

Hasilnya bisa kau tebak. Bukannya tikus yang diserang, justru kaki Dita lah yang diserang dengan gigitan tikus hingga bengkak berhari-hari. Aku tertawa kecil mengingatnya.

"KAKAAAAK! MANDIIII!," teriak Dita mengagetkanku, ia tampak berkacak pinggang berdiri di depan kamarku.

"Nanti kak Retha terlambat, cepat banguuun," timpalnya lagi.

Cerewet_-

Aku pun terbangun secepat kilat, bermaksud berlari menuju ke kamar mandi tetapi..

"Ke-kenapa ini? Kenapa kakiku sulit digerakkan?! Ke-kenapa tidak terasa apa-apa?!.."

Sedetik kemudian, "Ahhh bodoh, aku lupaa," kataku sambil menepuk jidat. Panikku menghilang.

Meski insiden kecelakaan itu sudah 3 tahun berlalu, aku masih saja belum terbiasa pada kedua kakiku yang lumpuh akibat insiden kecelakaan itu.

Dita berbalik kembali menuju kamarnya setelah meneriakiku dengan piyama Hello Kitty merah muda favoritnya. Kebetulan hari ini Dita tidak masuk sekolah.

Ibu tak mampu membayar uang piknik yang direncanakan Taman Kanak-kanak Dita hari ini. Hasilnya, Dita tidak bisa ikut piknik. Syukurlah Dita sudah mengerti kondisi keuangan keluarga kami.

Paling-paling Ibu sudah membujuknya dengan ice cream strawberry kesukaannya.

Selesai bersiap, seperti hari-hari biasanya, Ibu menggendongku dengan sisa-sisa tenaganya untuk menuruni tangga.

Berat? pasti.

Ibu mendudukkan ku di kursi roda. Membawaku perlahan ke meja makan untuk meneguk susu hangat yang sudah ibu siapkan diatas meja.

"Tha, Ibu anterin yaa, kebetulan Ibu ga terlalu sibuk hari ini. Ibu khawatir kalau kamu berangkat sekolah sendirian..," cemasnya sambil menyiapkan bekal makanan ku.

"Kalau kakak jatuh sakit loh Kak," timpal adikku dengan sederet gigi susunya yang hanya tersisa 2 buah dibarisan depan.

Siapa yang bilang kalau jatuh itu tidak sakit_- jatuh cinta saja menyakitkan bukan?

"Tidak usah Buu, Retha kan sudah besar, tidak ingin merepotkan. Kasian juga Dita sendirian di rumah, Retha berangkat sendiri aja," akupun bergegas pergi dengan membawa bekal makanan yang sudah Ibu siapkan tadi.

Cuaca kota hari ini agak murung, awan-awan kelabu telah berkumpul membentuk gumpalan hitam yang nantinya akan meneteskan jutaan rintik air hujan yang jatuh ke bumi.

Aku memutuskan memilih jalan pintas yang jarang dilewati banyak orang agar cepat-cepat sampai di sekolah.

"Padahal masih pagi, kenapa sudah mendung begini," desisku sebal.

Di ujung jalan, kulihat Ismi dan kawan-kawanya tengah berkumpul di ujung jalan. Mereka adalah senior-senior bullying di sekolah. Sadisnya, mereka tak segan-segan melakukan kekerasan fisik pada tiap siswa yang menjadi incarannya, termasuk aku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 11, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bait Tak BertuanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang