Penantian Sema'un

691 84 5
                                    

Saya mengenal Sema'un sejak setahun lalu. Saya tak tahu lengkap tentang dirinya. Saya hanya tahu kalau para bujang yang tinggal di bedeng kontrakan ini adalah mahasiswa. Mungkin, Sema'un juga mahasiswa. Saya kenal asal kota dari beberapa mereka, tapi tidak Sema'un. Saya tidak tahu mengapa jendela dan pintunya tertutup buat tamu, saya bahkan baru tahu kalau kamar yang paling dekat dengan jalan raya itu ternyata dihuni orang.

Pernah, satu kali Sema'un membeli susu dagangan saya. Tak tanggung jumlah. Ia borong semua sisa. Suka ria saya mendapat untung. Namun, ketika mendapati lelaki itu adalah Sema'un, agak remang juga bulu kuduk saya. Sema'un cuma menjulurkan tangan dari celah pintu. Apakah manusia apakah jin, saya tak peduli. Yang penting, uang yang diberikannya asli.

Istri saya mengatakan kepada saya untuk mengubah jalur bersepeda waktu berdagang, guna menghindari bedeng kontrakan itu. Katanya, di jaman sekarang kita tidak tahu bagaimana sifat pendatang. Bisa saja Sema'un bukan lagi menjulurkan tangan, tapi senjata tajam. Saya menggeleng pelan. Bagaimana bisa saya menerima usul, kalau tambang rejeki saya juga ada disitu?

Lagi, pantang bagi lelaki untuk merasa takut.

Sebenarnya, bukan itu yang mengganggu saya. Saya tak terlalu peduli apakah Sema'un menyimpan dosa besar dalam dirinya yang dulu. Seseorang punya hak untuk menutup beberapa bagian dirinya, apalagi kepada orang asing. Masalahnya, bukan itu masalahnya. Suatu siang, ketika saya hendak pulang, tidak biasanya Sema'un berlaku beda. Ia memang tidak membeli, tapi ia duduk melamun. Sepanjang pengalaman saya bekerja sebagai tukang susu, lelaki itu tak pernah-pernahnya menunjukkan muka, menatapi jalanan, demikian lekat, apalagi melalui jendela kamarnya.

*****

Mungkin Sema'un punya masalah besar, lebih besar dari masa lalunya.

Saya memang tidak mengenal Sema'un dengan baik, tetapi hari itu Sema'un bukanlah Sema'un. Saat melintasi jendela kamarnya, saya berhenti sebentar untuk memastikan. Ketika saya menyapanya, betapa takjubnya saya. Sebenarnya, Sema'un punya senyum yang matang dan ia nampak lebih sehat dari mereka yang setiap harinya selalu meminum susu.

justru disitu rasa khawatir saya berakar.

Sema'un ramah betul. Ia bahkan membalas pertanyaan dengan baik. Ini betul Sema'un? Kepala saya terus bertanya-tanya. Selama satu tahun menjadi tukang susu, baru ini saya melihat wajahnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk pulang dengan hati positif, berpikir lurus saja bahwa Sema'un tidak sakit tetapi ingin berubah.

Istri saya punya pandangan lain mengenai ini. Menurutnya, Sema'un tertekan. Bukankah, berdasarkan penuturan saya, Sema'un punya perawakan lebih tua ketimbang anak tetangga kami yang baru masuk kuliah? Ah. Tugas akhir, kata istri saya, mungkin dia mahasiswa abadi. Siapa paham Sema'un sedang bimbang—menghadap dosen pembimbing atau pulang ke kampung.

Saya bilang, tidak mungkin. Sema'un nampak baik-baik saja. Sema'un bahkan menjelaskan mengapa ia berlaku demikian. Istri saya tidak membalas lagi, setelah saya menjelaskan cerita Sema'un—ia membuka jendelanya karena sedang menunggu kedatangan pacarnya hari itu.

******

Ini hari ketiga semenjak Sema'un berubah. Bahkan, sedari subuh, lelaki itu sudah nongkrong di depan jendelanya sambil melambai-lambaikan tangan. Saya bertanya apakah ia ingin membeli susu. Ia menjawab akan membeli dua—satu untuk dirinya, satu lagi buat pacarnya.

Saya penasaran bagaimana rupa perempuan yang mampu menaklukkan keangkuhan Sema'un. Saya pikir, benar adanya kalau cinta mampu mengubah pribadi manusia. Dunia dibuat terbalik kalau manusia sudah mengenal cinta. Istri saya dulu juga begitu. Mana mau ia menjadi istri pengantar susu, kalau tidak cinta. Oleh karena itu, saya menceritakan ini—tentang Sema'un, bukan tentang istri saya—kepada satu bujang kontrakan yang rehat bermain tenis di lapangan. Seseorang yang tinggal di sebelah kamar Sema'un, tertawa. Katanya,"Perempuan, pacarnya Sema'un? Saya belum pernah lihat ada yang datang. Mungkin saja. Kudengar, dia kadang ceria sekali berteleponan dengan seseorang dari dalam kamar."

Saya penasaran bagaimana rupa perempuan yang mampu menaklukkan keangkuhan Sema'un. Saya percaya Sema'un punya alasan yang benar. Saya, sebagai mantan narapidana kasus narkoba saja, bisa berubah. Jadi, siang hari usai pulang menjajah susu untuk anak-anak SD, saya mampir sebentar ke depan jendela Sema'un.

"Pacarmu berjanji mengunjungimu lagi siang ini, Un?"

"Ya."

"Cantik pacarmu?"

"Iyalah. Kalau tak percaya, tengoklah sendiri. Itu. Dia sedang menuju ke arah kita."

Saya menoleh sesuai arah telunjuk Sema'un. Saya membuka topi, mencari batang tubuh manusia. Tidak ada siapa-siapa, kecuali angin yang menyisir kening bidang saya. Saya terdiam. Merinding. Saat saya kembali pada Sema'un untuk bertanya, saya bingung harus percaya pada siapa. Istri saya, bujang pemain tenis, diri saya, atau Sema'un—yang sedang mendekap angin dengan tangan kosong di depan jendela kamarnya.

*****

Lahat, Palembang, Sumatera Selatan.

Penulis dapat ditemui di Instagram : @secarikpesandisakubajumu;
Youtube : Secarik Pesan di Saku Bajumu.

(TELAH TERBIT) Penulis yang merancang kematian tokoh utamanya.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang