Lomba Lidah.

315 42 2
                                    

Dimuat di Nusantara News, 9 Juli 2017

***

Aku yakin, si Barnas itu yang jadi juara, kata Jemahi, lelaki yang baru-baru ini punya sawah sebesar bidang rumahnya sendiri, setelah duduk di bangku panjang bersisian dengan Ramun dan saya yang sedang memperhatikan jalannya acara.

Ramun mengangguk ayam. Sepertinya, ia masih tak peduli siapa yang akan memenangkan kompetisi. Ia, seperti yang diisyaratkan kepada saya sebelum kedatangan Jemahi, hanya ingin tahu hadiah apa yang akan diberikan tahun ini.

Ramun meraih segelas kopi hitam di belakang badannya. Seorang anak bujang sedang menunggu duit buat upah. Ramun menggeleng dan anak itu menggerutu. Ia menyumpah. Sayup-sayup, kami dapat mendengarkan-semoga, kalau Ramun ikut lomba yang sedang diadakan di lapangan kota ini, ia akan mendapatkan malu.

Anak baru, tak akan tahu ia siapa Ramun sebenarnya. Begitu, mungkin yang sedang dipikirkan Ramun. Saya bilang pada Ramun, itu anak memang dari luar pulau, yang baru mengisi lahan bersama orangtuanya. Lahan tandus yang hilang pesona. Lahan yang ditinggal penduduk aslinya. Lahan yang tak memberikan apa-apa kecuali tanah murah dan tanah murah dan tanah murah. Inilah program dari pemerintah pusat negeri kami yang, dengan kasih sayang selalu menyuapi kami dengan kata-kata.

...maka, berhentilah Ramun memberikan alis tingginya, kecuali pada segelas kopi hitam yang ada di pegangan dan kotak-kotak hadiah sebesar rumah di sebelah panggung itu.

Sebenarnya, ini hari bersejarah. Guna memperingati ulang tahun kota, penduduk melakukan perayaan. Kompetisi. Judulnya, siapa yang bisa berpidato dengan lidah paling panjang akan mendapat hadiah. Saya tahu, ini konyol. Awalnya, ini memang hanya untuk kesenangan. Kau paham, masalah hidup bisa dibuat bukan beban kalau manusia mampu menertawakannya.

Namun, lambat laun, semua orang berebut jadi peserta. Tidak cuma penduduk dalam kota, melainkan orang-orang dari luar.

Tersebab, seorang ahli di satu televisi, yang stasiunnya saja jijik bercokol di tempat terpencil macam kota kami ini, memberikan ulasan. Ia tokoh budaya yang bilang, lomba unik di tanah kami adalah penggambaran untuk manusia pandai. Kearifan lokal. Budaya puluhan tahun yang patut dilestarikan.

Bayangkan. Tidakkah sulit berbicara bijak sementara lidahmu, dengan kekanak-kanakannya, terjulur-julur di udara?

Pernah kau dengar bahwa seorang pintar yang punya sisi humor adalah orang yang punya kelas serata Einstein? Ah. Saya tak mengerti ilmu pengetahuan. Kau tanyakan saja pada orang pintar di negerimu. Intinya, mengetahui bahwa perlombaan ini dapat memberikan kehormatan pribadi, makin banjir orang-orang kaya jadi donatur buat hadiah, makin banyak orang mampir untuk ikut serta. Tak terkecuali, si juara bertahan-Barnas-lelaki dengan lidah sepanjang dua tungkai atas manusia.

Ramun masih menunjukkan ketertarikannya pada hadiah. Saya rasa, ia tak lagi memikirkan apakah orang-orang masih mengingat namanya. Kekalahannya dari Barnas beberapa tahun lalu, membuatnya memotong lidah sampai ke pangkal. Orang-orang tak tahu tentang ini. Saya dan Jemahi tahu. Oleh itulah, Jemahi mengejeknya dengan...Kau tahu, kau harusnya tidak memotong lidahmu. Setidaknya, kau bisa melatih dirimu untuk tahun berikutnya.

Ramun cuek saja. Ia menumpahkan kopi ke mulutnya. Saya tak tahu apa yang Jemahi inginkan sebagai kawan baik. Agaknya, ia mulai memberikan titik terang, betapa mendekati Barnas memberikannya keuntungan. Misalnya, sepetak sawah baru yang seukuran dengan tanah rumahnya itu.

Barnas tunai memamerkan kemampuan di panggung. Sepuluh menit bicara membuat lidahnya merah terkulai. Tapi, wajahnya cerah karena semua orang bertepuk tangan, terkecuali Ramus yang sibuk memandangi hadiah dengan wajah penuh keinginan. Jemahi bangkit untuk memberikan dukungan. Ia merasa satu pemikiran dengan Barnas-terutama masalah duit. Jangan tanyakan kepada saya tentang ini. Tanyakan saja pada semua orang yang turut menjulur-julurkan tangan bersama Jemahi di pinggir panggung itu.

Saya tak suka Barnas. Isi pidatonya tak cakap disandingkan dengan mukanya yang penuh tali lalat itu. Bila Ramus dan Jemahi bertanya siapa yang akan saya dukung, maka selain Ramus, saya memilih Sema'un-pendatang baru, punya lidah bercabang dua, persis ular yang ia latih dan sembunyikan di dalam kepalanya.

Sebenarnya, ada banyak yang punya kualitas. Sarkus punya lidah sebesar taplak meja. Ramin punya lidah yang bisa menari india. Ramali ada lidah yang baru saja ia suntik dengan cairan pembesar payudara perempuan (lidahnya montok betul sekarang). Jatuh memiliki lidah yang tajam seperti pisau dapur. Wari, meski tak punya lidah yang menarik, memiliki isi kepala yang mampu memikat telinga orang. Tapi tak pernah ada yang bisa menyaingi kepandaian dan lidah Sema'un yang satu iring dengan ilmu praktis-sekali jilat, dua kepala mengiyakannya.

Kopi sudah habis, tapi Ramus masih meneliti dari jauh. Kawan saya itu masih mengira-ngira bahwa hadiah untuk lomba tahun ini tentulah rumah. Saya bilang ke Ramus, tidak ada yang bisa membawa beban seberat itu ketika pulang. Tetapi, ia diam saja. Matanya tak berpindah meski keributan lahir di pucuk panggung.

Dari suasana yang kompak, jadi riuh redam. Pendukung Barnas, yang rencananya akan mengusung lelaki itu jadi wakil rakyat tahun depan, paling gencar memberi cemooh pada Mastuli, lelaki berlidah basah yang saking tingginya omongan, malah membelit lehernya sendiri. Para juri tertawa-tawa. Penonton sama iya. Cuma pendukung Mastuli yang naik ke pentas, menolong bintangnya yang kehabisan napas.

Nun dikeramaian itu, Jemahi paling bersemangat. Dia pikir, dari segala perlombaan di muka bumi, perlombaan di tempat kamilah yang paling hebat. Padahal...kasihan lelaki itu. Miskin informasi, dia. Kelak dia cuma jadi bangkai macam yang lain. Maksudku, kau tahu, kan, ada lomba baru yang sedang disukai banyak orang akhir-akhir ini?

Itu di negerimu, kan?

Kudengar, penduduk di negerimu sedang berlomba-lomba memotong telinga.

***

Lahat, Palembang, Sumatera Selatan.

Penulis dapat ditemui di Instagram : @secarikpesandisakubajumu;
Youtube : Secarik Pesan di Saku Bajumu.

(TELAH TERBIT) Penulis yang merancang kematian tokoh utamanya.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang