Vote, read and coment
“Good morning buat yang pagi disana. Hari ini gue mau bagi-bagi resep sambel ala kana si crunchy.”
Klik
Sementara video aku pause dulu, tanganku dengan lincah menyiapkan beberapa bahan dasar untuk stok mood booster ku seminggu nanti. Kalian tau apa itu, SAMBAL. Hidup di negara orang yang seleranya jauh dari kita orang-orang tropis mangharuskanku berfikir sekreatif mungkin.
Membuat video membagikan resep adalah mungkin salah satu jalan berbagi informasi buat teman-teman yang satu perjuangan sepertiku. “sementara menunggu air mendidih, ini ada beberapa bahan seperti cabe merah, cabe rawit, bawang merah, bawang putih...”
Prang...!
“Liyan...” liyan disini adalah nama panggilanku. Lebih tepatnya senggolan dari KALIANA, saat teman-teman dikampung halaman menanggilku Kana. Lidah orang sini sulit mengungkapkannya, hanya ‘Liyan’ yang bisa mereka ucapkan. Aku sih oke-oke saja, selama nama itu tidak merubah identitasku.
Belum juga kulanjutkan video perkenalanku dengan para bumbu dapur, si nenek tua sudah menjerit. Dan sekarang aku harus menerima kenyataan sebagai pengasuh nenek tua yang pikun.
“Iya, ama” Nenek tua yang ku panggil 'ama' itu sepertinya memecahkan sesuatu. Jelas aku mendengar sebuah benda pecah belah jatuh. Aduh, jangan sampai ama membanting benda berharga dirumah ini. Dengan ikhlas bahan masakan dan alat tempurku yang selalu ku pakai untuk menyuguhkan video harus ku off dulu. Biasanya setiap mulai ng-Vlog begini, aku mencari waktu luang seperti saat ama tertidur. Perasaan baru juga 10menit ama tertidur dan baru juga memulai dia sudah berulah. Kalau bukan karena kebutuhan mungkin rasa sabarku mudah kehabisan.
Ku biarkan bahan-bahan didapur berantakan, gagal semua video hari ini. Segera ku langkahkan kaki menuju ama yang sudah terduduk dilantai kamarnya.
“ama, ada apa? Aduh... Kok bisa tumpah begini” kucoba memapah ama keatas tempat tidur kecil, kamar ama memang tidak terlalu besar hanya diisi lemari dua pintu dengan tinggi satu setengah meter, kasur single, dan satu nakas tempat lampu tidur dan gelas untuk meminum obat.
“lain kali jangan ambil sendiri, panggil aku dulu. Jadinya kan begini, tumpah kemana-kemana” omelku, bodo amat. Aku ngomel menggunakan bahasa indonesia, karena jujur mau ngomel pake bahasa mandarin yang dia gunakan juga aku belum mahir merangkainya. Kupunguti serpihan-serpihan kaca pecahan gelas yang ama banting. Mungkin dia mau minum atau apa, tetapi seharusnya dia panggil aku dulu. Kalau saja anaknya tau ibunya berulah begini, bukan dia yang kena marah mungkin naga api taipan akan menyembur langsung kearah mukaku.
Selesai beres merapikan kekacauan dikamar yang ama buat, aku siapkan beberapa obat dan minum untuknya.
“ama ini minum, pelan-pelan ya” perintahku, nenek satu ini telinganya sudah agak tuli. Sebisa mungkin aku harus mengencangkan suara saat memberikan perintah, bukan tabiatku sebetulnya mengencangkan suara dihadapan orangtua. Kita orang indonesia yang melekat dengan image sopan santun dan ramah tamah membuatku agak kurang nyaman dengan kondisi ini, lagi-lagi kembali ku ingat karena sebuah kebutuhan.
Kurebahkan ama diatas ranjang kecilnya, sambil kuusap pelan-pelan kepalanya. Rambutnya sudah tipis dan memutih, aroma khas orangtua menguar disegala penjuru kamar. Aku ingat saat awal datang kesini, anak dari ama atau lebih tepatnya majikanku memberi menjelaskan beberapa kebiasaan ama, salah satunya saat tidur kepalanya harus selalu diusap.
“liyan, nanti kalau ibu mau tidur tolong kamu usap kepalanya sampai terlelap”
“baik bu” hanya itu yang kujawab, bagaimanapun statusku sebagai Asisten Rumah tangga atau pembantu yang merangkap mengasuh nenek tua juga harus mematuhi apa yang diperintahkan majikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distance
Teen Fiction'Kaliana harus memilih sebuah pilihan tersulit yang tidak pernah tertulis dalam daftar cita-citanya, yaitu pergi sebagai Tenaga Kerja Wanita di negara Republik Tiongkok beribukota Taipe, negeri empat musim. Disana dia mengundi nasib ditengah statusn...