Hari yang begitu menyenangkan bagi siswa tahun ajaran baru di SMA Nusantara. Setelah sholat berjamaah di masjid sekolah, seluruh siswa kelas sepuluh diperbolehkan untuk pulang. Sorak sorai terdengar mengingat mereka telah lolos dari cengkraman kakak panitia MPLS hari ini.
Begitu juga aku.
Kubuka ikat rambut yang mengepang rambutku di sisi kanan dan kiri. Lalu menyisirnya dengan sela sela jari.
Menunggu ayah menjemput membuatku berakhir di pos satpam tanpa teman. Para siswa berlalu lalang di hadapanku. Sesekali mereka tersenyum dan menyapaku singkat sebelum menaiki kendaraan yang akan mengantar mereka pulang.
Kuhela nafas kasar, berapa lama lagi aku harus menunggu padahal jam kembali menunjukkan waktu sholat.
"Nadira?"
Seorang gadis datang menghampiriku. Sepertinya dia juga siswa baru, melihat warna roknya yang sama dengan yang kukenakan.
"Kau.. mengenalku?"
"Tentu, kau terlihat bersinar dengan wajah cantik yang kau miliki."
Aku tersenyum canggung lalu segera menggeser posisi dudukku untuk memberinya tempat.
"Apa aku boleh bergabung?"
Aku menoleh, memperhatikan sejenak wajahnya yang tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas senyuman itu. "Duduk sendiri di kursi ini sepanjang siang membuatku sedikit jenuh. Apa kau kemari untuk menjadi temanku?"
"Kau sudah menjadi teman kelasku sejak hari ini."
"Kita duduk di kelas yang sama? Astaga.. maaf aku tidak mengenalimu lebih awal."
"Kau mungkin tidak mengingat wajahku karena ada tiga puluh wajah baru di kelas. Kali ini kau kumaafkan."
Aku terkekeh, "Riana Aprilia." nama itu yang tertulis di papan berukuran dua puluh kali dua puluh lima di dadanya. Tentu saja aku tahu ukurannya karena semua peserta MPLS mempunyai papan yang sama. Hanya nama dan kelas yang tertulis di papan itu berbeda menurut masing masing pemiliknya.
"Aish, aku hampir lupa melepas papan menjengkelkan ini."
"Kau harus berterimakasih kepadaku, jika aku tidak melakukannya kau mungkin akan tertidur dengan tali yang mengalung di lehermu."
"Terimakasih" ia menjeda kalimatnya, "teman."
Senyum kembali kupamerkan. Aku senang mendapat satu teman baru yang menyenangkan seperti Riana Aprilia. Ia selalu tersenyum, matanya berbinar. Kesan pertamaku pada gadis itu, periang.
Sekolah tidak seramai tadi, mereka mungkin sudah berbaring santai di rumahnya. Sementara aku masih setia duduk di kursi panjang ini. Dengan seorang teman.
"Astaga."
Riana menutup mulutnya yang membulat sempurna, matanya pun ikut membulat ketika melihat seorang pria yang baru saja lewat.
"Ada apa?" tanyaku.
Matanya masih mengarah ke depan namun kepalanya sudah menengok ke arah lain mengikuti kemana pria itu pergi. Aku pun mengikutinya karena rasa penasaran yang kumiliki. "Siapa? Kau mengenalnya?"
Dia menggeleng cepat, "Tidak, kami tidak saling mengenal. Aku hanya mengaguminya."
Kucoba melihat kembali orang Riana kagumi. Hanya sekedar ingin tahu seperti apa rupanya. Tapi sayang, ia sudah hilang dari jangkauanku. "Dia, Bukannya dia berada di angkatan yang sama?"
Riana mengangguk, "Apa kau tidak mendengar desas desus tentangnya?"
"Ti-dak."
"Sungguh?" Riana mendekatkan wajahnya. Matanya kembali membulat, seperti terkejut dengan jawaban singkatku.
Aku hanya menganggukan kepala. Sedikit bingung karena respon Riana yang terlalu berlebihan, menurutku. Apa salahnya jika aku tidak tahu tentang pria itu. Mengenal atau tidak pria itu tidak akan mempengaruhi apapun di hidupku.
"Mengenalimu sebagai teman kelas sungguh menyulitkan. Bagaimana bisa aku mengenali setiap siswa baru yang berbeda kelas denganku."
"Kau.. sungguh tidak mengenalnya?"
Aku menghela nafas kasar, "Apa dia artis? Aktor? Seniman? Penyair? Kurasa aku tidak mempunyai alasan untuk mengenalnya."
Riana melempar tatapan dalam terhadapku. Membuatku was was dengan perilaku anehnya yang tiba tiba. Karena bagaimana pun aku baru mengenalnya.
"Dia.. seorang bintang."
Aku berdecih, gadis itu membuat jantungku berdegub kencang karena bersikap menakutkan. Kudorong bahunya, memberi sedikit jarak diantara kami.
Tinn
Kupalingkan wajahku dan menemukan seorang pria dalam mobil silver yang berhenti tepat di depan gerbang. Pria itu sengaja membuka kaca mobil agar aku mudah menemukannya.
"Jika dia seorang bintang, akulah rembulan." Aku tertawa lalu beranjak meninggalkan Riana disana.
...
Jalanan begitu padat sore ini. Mobil mobil memadati jalan seakan mengantri mendapat asupan. Untungnya hujan musim ini tak terlalu merepotkan dengan memicu banjir seperti tahun tahun sebelumnya.
Sudah menjadi pemandangan biasa jika kau tinggal di sebuah kota besar seperti Jakarta. Aku menikmati suasana ini dengan alunan musik akustik dari radio favoritku.
"Aish, sampai kapan kita terjebak dalam kemacetan. Apa kita akan bermalam? Pemerintah harusnya segera bertindak jika tidak ingin rakyatnya menderita."
Ayah selalu berceloteh saat berada dalam situasi semacam ini. Tak henti hentinya ia mencurahkan perasaannya. Lelah setelah bekerja mungkin menjadi faktornya.
"Berhentilah mengeluh, aku tahu ayah ingin segera pulang. Tapi kita tidak bisa melakukan apapun selain menunggu jalan kembali normal."
"Ayah hanya ingin bertemu ibumu, apa itu salah? Pemerintah harusnya mengerti perasaan ayah."
Aku terkekeh melihat ayah yang sedang dirundung rindu. "Aku yakin, pemerintah sedang mengupayakan cara untuk meredam kemacetan. Tapi kemacetan bukan satu satunya masalah yang dihadapi, pak presiden pasti sakit kepala memikirkan ribuan masalah yang ada."
Tangan ayah berada di puncak kepalaku, mengusapnya dengan penuh kasih sayang, "Rupanya, anak ayah tumbuh sebagai gadis cantik yang cerdas."
Aku tersenyum mendengar pujian yang ayah lontarkan. Juga karena wajahnya yang tampan di usianya yang tak lagi muda. Ia mempunyai senyum yang sama denganku, membuatku tenang karena hal itu membuktikan diriku sebagai anak kandungnya.
Kutatapan wajahnya lekat. Dengan begitu, ketenangan akan memenuhi ruang pikiranku.
"Kenapa terus menatapku? Kau jatuh cinta dengan ayahmu sendiri?"
"Kurasa begitu. Aku sangat mengagumi ayah, sifatmu yang lembut membuatku jatuh cinta. Kau juga tampan. Ibu beruntung dinikahi pria sepertimu."
"Sekarang kau cemburu dengan ibumu?"
"Mmm tidak, setidaknya ada darah ayah yang mengalir di tubuhku. Ibu tidak memiliki itu."
Kami pun terus bercanda tawa. Aku yang membagikan kisah pertamaku bersekolah di tingkat SMA kemudian ayah yang bercerita tentang pertemuannya dengan ibu.
Di tengah kemacetan seperti ini, aku bersyukur karena bersama dengan orang yang kusayangi. Jika saja ada ibu dan adikku, Vano, pasti terasa lebih menyenangkan.
Aku jadi tidak sabar pulang, berkumpul dengan keluarga sambil menikmati makan malam yang disiapkan ibu.
"Ayah, kau tak perlu menjemputku lagi. Aku akan menaiki bus mulai besok."
"Ayah bisa menjemputmu, tadi ayah ada urusan mendadak di kantor. Maaf membuat anak ayah menunggu."
Aku tersenyum, "Bukan begitu, hanya saja aku tidak ingin merepotkan ayah. Aku sudah menjadi gadis SMA, ayah. Aku harus bisa mengurus diriku sendiri."
...