part tiga - Galang

7 0 0
                                    

Aku dan Riana memilih meja di sudut kantin. Dari tempat ini aku bisa menyaksikan semuanya. Mulai dari segerombol siswa yang bercanda tawa sambil menyantap makanan mereka sampai antrian siswa yang tak kunjung mereda.

Bangunan yang terpisah dari gedung lainnya ini memiliki jendela luas di setiap sisinya, membuat udara segar kerap masuk dan ikut menemani.

Riana menyantap nasi goreng yang ia pesan. Berkali kali memasukkan sesuap nasi ke mulutnya tanpa henti. "Kau pemberani."

Kuhentikkan aktivitasku menyeruput mie ayam. Dahiku mengeryit. "Ah, aku hanya tidak menyukai tingkahnya."

Riana terkekeh, "Sudah kubilang, dia seorang bintang. Apapun yang ia lakukan selalu menjadi sorotan."

Bintang?

Aku teringat sesuatu. Hari saat pertama kali aku bercengkerama dengan Riana. Saat itu ia memberitahu tentang idolanya yang berada di angkatan yang sama.

"Tunggu.. dia orang yang kau bicarakan?"

Riana mengangguk sebelum ia meneguk habis minumannya.

"Wahhh aku tidak percaya ini. Bahkan temanku juga penggemarnya."

Riana menatap pria yang duduk bersebrangan dengan meja kami. Pria yang masih terlihat tinggi ketika ia duduk. Beberapa kali ia tertawa, entah apa yang ia tertawakan dengan teman temannya.

"Dia seperti pangeran." Riana menopang dagunya dengan tangan, memperhatikan pria itu dengan seksama seakan pria itu adalah pria paling sempurna di dunia. "Astaga, dia seperti pangeran dan kau seperti tuan putri, kalian akan menjadi pasangan yang sempurna" ucapnya antusias.

"Kau mulai melantur."

"Tidak."

Mataku membulat ketika Riana mendekatkan wajahnya padaku. Matanya bergerak ke kanan dan kiri memperhatikan keadaan lalu kembali menatapku. "Kuperingatkan, kau tidak mungkin bisa menolak pesonanya."

Kalimat dengan penuh tekanan di setiap katanya itu membuatku terdiam seketika. Tidak bisa menolak pesonanya? Mustahil. Selama hidupku aku tidak pernah menyukai seorang pria. Apalagi jenis pria sepertinya.

Pria itu jauh dari pria yang selalu kuimpikan. Pria yang hangat dan memiliki pengetahuan yang luas, persis seperti ayah.

Line!

Sebuah notifikasi berhasil membuyarkan lamunanku. Segera kuambil handphone yang tergeletak di meja.

Galang added you by id

Dahiku mengeryit. Kucoba mengingat nama galang dalam memori otakku yang sempit. Galang Pradana, teman SMP ku dulu. Kami bertemu di kelas delapan. Walaupun kami jarang berkomunikasi lewat media sosial tapi aku yakin jika orang itu adalah dia. Mungkin ia memiliki kepentingan denganku maka dari itu ia mencoba menghubungiku. Pikirku begitu.

Galang

"Galang? Apa kabar? Kau masih mengkonsumsi obat peninggi badanmu? Haha"

Tak butuh waktu lama, pria itu membalas pesanku.

"Aku sudah cukup tinggi. Aku tidak membutuhkan obat semacam itu."

"Sudahlah, kau harus bersyukur dengan tinggi yang kau miliki. Itu tidak buruk. Kau sangat menggemaskan ketika bersanding dengan Dave haha."

Dave adalah pria bertubuh jangkung yang saat itu satu kelas denganku dan Galang.

"Sudah kubilang, aku tidak pernah mengkonsumsi obat peninggi badan. Jangan menuduhku atau kau akan mendapat balasannya."

"Wah apa ini? Kau mengancamku? Begitu?"

"Hanya memperingatkanmu. Kau tidak tahu pria seperti apa yang kau hadapi sekarang."

"Astaga, kau pemarah rupanya. Kau bisa menunjukkan batang hidungmu lalu menghajarku, Galang."

"Baiklah."

"Aku menunggumu."

Aku terkekeh ketika membaca balasan pesan pria itu. Menggoda pria pemarah memang menyenangkan. Rasanya seperti memenangkan pertandingan besar.

Lagi pula, apa yang akan pria itu lakukan? Ia tidak mungkin menghajarku sungguhan. Selain karena aku perempuan, dia juga mendaftar sekolah di luar kota.

Tiba tiba saja seorang pria duduk di sampingku. Ia tidak membawa satupun makanan atau minuman. Ia hanya duduk, menatapku.

Kami tidak dekat bahkan baru sekali bertemu. Itu pun tidak berkesan baik. Wajar jika aku terkejut dengan kehadirannya tapi aku berusaha bersikap setenang yang kubisa.

Jangan tanyakan Riana. Ia terlihat lebih terkejut daripadaku. Matanya membulat sempurna, tangannya ia gunakan untuk menutupi mulutnya yang terbuka. Bagaimana tidak, sekarang ia berhadapan dengan sang idola.

"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku dengan pelan namun terkesan dingin.

Pria berkulit putih itu menampakkan seringaiannya, "Menunjukkan batang hidungku."

Aku terdiam. Bingung dengan situasi yang terjadi. Baru saja aku mengirim pesan kepada Galang agar ia menunjukkan batang hidungnya. Kenapa pria ini berbicara seolah dirinya adalah Galang Pradana. Ah, mungkin kebetulan.

"Siapa yang mengizinkanmu duduk disini? Aku bahkan tidak ingin melihatmu." Kataku tanpa berniat menatap pria itu sambil mengaduk lemon tea yang sudah habis setengahnya.

"Kau yang menyuruhku datang lalu menghajarmu. Kau tidak ingat?"

Pikiranku semakin bercampur tak karuan. Aku tidak mungkin salah dengar. Ia baru saja mengatakan bahwa ia datang lalu akan menghajarku persis dengan pesan yang kukirim kepada teman lamaku itu, Galang Pradana.

Wajahku pasti seperti orang bodoh sekarang. "K-kau bagaimana mungkin.."

"Ada apa denganmu? Apa aku terlalu tampan dan membuatmu gugup? Maafkan aku." Katanya dengan ekspresi wajah yang dibuat buat.

"Galang.. dan kau.."

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. Atau lebih tepatnya aku tidak bisa menyusun semua hal yang bermunculan di otakku.

Sampai kurasakan sebuah tangan mengalung di bahuku. Pria itu merangkulku lalu mata kami bertemu dalam jarak yang begitu dekat. "Aku tidak begitu menyukai perkelahian. Bagaimana jika aku menghajarmu dengan cara lain? Kau akan menyukainya, Nadira Moremans."

Satu seringaian lagi muncul dibalik bibirnya sebelum ia meneguk habis lemon tea ku dan pergi berlalu.

Riana bergegas memutari meja untuk duduk di sampingku, menggantikan tempat pria tadi. "Kau bilang, kau tidak mengenalnya. Bagaimana dia tahu namamu, hm? Bahkan kalian berbicara seperti seorang teman. Katakan, ayo katakan." pintanya sambil mendesakku.

Aku hanya menatapnya dengan kebingungan. Jiwaku seperti hilang entah kemana. Pikiranku melayang pada pria itu dan semua teka teki yang belum kupahami. Aku tidak dapat menjelaskan apapun pada Riana karena memang tidak ada hal yang bisa diceritakan. Semua terjadi begitu saja.

Tak hentinya gadis itu mendesakku untuk menjawab pertanyaannya. Beberapa kali ia menggoyangkan lenganku lalu merengek seperti bayi. "Apa hubunganmu dengan Galang?"

...

The Winner Takes it AllTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang