Kurebahkan tubuhku di atas kasur dengan mata memejam dan helaan panjang. Setelah seharian beraktivitas di sekolah, baru kusadari tubuhku melemah. Kepala berdenyut, mata terasa panas dan perih. Itu yang kurasakan saat ini.
"Galang Pratama.. Galang pradana."
Entah mengapa sejak tadi aku selalu memikirkan nama itu. Galang yang menemuiku tadi adalah orang yang berbeda dengan Galang si peminum obat peninggi badan. Pantas saja ia kesal saat aku meledeknya. Lagi pula, kenapa juga aku harus membuka percakapan lebih dulu dengannya?
Argh.
Aku mengacak rambutku frustasi. Mengutuk diri karena sikap bodohku tadi. Jika saja aku tak cepat berasumsi dan menyapanya lewat line pasti kejadiannya tidak seburuk ini. Memangnya pemilik nama Galang hanya Galang teman lamaku saja.
Line!
Layar handphoneku menyala bersamaan dengan bunyi notifikasi line yang kudapat. Segera kugeser layar handphoneku lalu membaca sebuah pesan.
Galang
"Jika kau tidak keluar dalam sepuluh menit, aku akan menghajarmu besok."
Aku mendengus kesal. Siapa pria ini berani memerintahku. Lebih baik kuabaikan saja pesan darinya daripada aku tertular gila.
Satu pesan kembali kudapat dari orang yang sama. Karena penasaran, aku pun langsung membukanya.
Galang
"Kutunggu besok. Kau tidak bisa lari dariku."
Kuputar bola mataku malas. Membaca pesan darinya hanya membuatku muak. Pria itu tak hentinya melayangkan ancaman kepadaku. Bersikap seolah tidak ada satupun manusia yang bisa menentangnya.
Inilah ibu, alasan mengapa kita tidak boleh terlalu memanjakan anak. Bisa bisa anak akan terkena prince syndrome dan bersikap seenaknya. Hal itu akan membuat orang di sekitarnya muak dan ingin menelannya hidup hidup.
...
Bel pulang sekolah sudah terdengar lima belas menit yang lalu. Namun aku masih terduduk di bangku, dengan tumpukan buku dan pena di tanganku.
Tugas yang diberikan pak Dandi mengharuskanku lembur sepulang sekolah. Hitung hitung untuk mengisi waktu menunggu hujan reda sebelum pulang ke rumah.
Earphone terpasang di telingaku sejak tadi, meredam suara hujan di luar sana. The Day We Met dari Cheeze adalah lagu berikutnya yang kudengar. Lagu itu benar benar membuatku nyaman, cocok dengan cuaca dingin dan suasana sunyi seperti ini.
Jariku masih menari nari di atas kertas. Entah untuk lembaran ke berapa.
Tiba tiba earphone di telinga kananku terlepas. Pria yang duduk berhadapan denganku yang melepasnya. Lagi, kulihat seringaian itu di wajahnya untuk kesekian kali.
Tidak ada dasi yang terpasang di lehernya. Bajunya keluar, rambutnya panjang melebihi standar yang ditetapkan sekolah. Seperti ini yang Riana sebut idola?
Ia hanyalah pria urakan yang terkena prince syndrome.
"Kau tidak pulang?" tanyanya.
Kualihkan pandanganku kembali kepada kertas di meja. Sesekali kubuka buku sebagai sumber jawaban. Tidak ada gunanya aku meladeni pria itu, ia hanya akan memperlambat pekerjaanku.
"Kenapa kau tidak menemuiku kemarin? Kau tahu, aku kehujanan dan itu karenamu."
Anggap saja ia angin lalu, Nadira.
Pikiranku membuyar, entah kalimat apa yang baru saja kutulis. Kucoba memfokuskan pikiranku hanya pada tugas pak Dandi tapi pria itu tak kehilangan akal untuk mengusikku.
Ia mengangkat lengan kananku, membuatku terperanjat kaget. Hal itu membuatku berhenti menulis kalimat kalimat yang tak kumengerti.
Kutatap matanya tajam menusukku, aku bisa melihat amarah dari sorot mata itu. "Jangan mengabaikanku atau-"
"Atau apa? Ancaman apa lagi yang akan kudapat setelah ini?" aku memberanikan diri untuk memotongnya berbicara. "Kau seperti anak anak, semua yang kau inginkan harus terpenuhi. Tidakkah kau merasa orang di sekitarmu muak dengan tingkah lakumu itu? Kita baru mengenal tapi aku bisa dengan mudah membencimu, aku tidak bisa membayangkan mereka yang kesehariannya berhadapan denganmu."
Kutarik tanganku dari cengkraman pria itu lalu kembali menyelesaikan pekerjaanku. Entah keberanian yang datang dari mana sehingga aku bisa mengatakan hal itu kepadanya. Kurasa keberanianku hanya sesaat. Sekarang aku benar benar tidak mampu menegakkan kepalaku untuk sekedar menatapnya.
Pria itu menghela nafas, "Selesaikan tugasmu, aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak perlu, masih banyak yang harus kuselesaikan." kataku tanpa menatapnya.
"Aku bisa menunggu."
"Pulanglah, kau tidak akan betah menunggu lama."
"Aku akan tetap menunggu. Selesaikan saja tugasmu sebelum jam enam sore. Gerbang akan ditutup pada jam itu."
Setelah satu jam berlalu akhirnya aku berhasil menyelesaikan tugasku. Kumasukkan semua alat tulis ke dalam tasku. Aku harus menyerahkan kertas kertas ini kepada sang guru pengampu.
Baru satu langkah, aku berhenti berjalan karena seorang pria yang duduk di depanku tadi. Kepalanya berada di atas meja dengan mata yang terpejam. Kedua lengannya ia tumpuk di bawah kepala yang ia gunakan sebagai bantal.
Astaga, aku hampir lupa dengan pria ini. Ia menungguku sampai ia tertidur.
Kutatap wajahnya lekat. Saat terlelap wajahnya begitu tenang, tidak ada tatapan tajam atau seringaian yang selalu kulihat.
Bahkan ia terlihat tampan. Tanpa kusadari sudut bibirku terangkat, tersenyum. "Sudah kubilang untuk jangan menungguku. Dasar keras kepala."
17.30
Aku akan tetap menunggu. Selesaikan saja tugasmu sebelum jam enam sore. Gerbang akan ditutup pada jam itu.
Aku masih punya waktu setidaknya tiga puluh menit lagi. Bergegas kuberlari menuju ruang guru.
Beberapa kali aku tersesat karena belum begitu paham dengan letak ruangan yang ada. Sudah kutelusuri seluruh gedung di sekolah ini dan ternyata ruang guru berada di samping lobby.
"Permisi, pak Dandi. Ini tugas yang sudah saya kerjakan."
Pria berkacamata itu tersenyum menatapku, "Letakkan di meja."
Kuanggukan kepalaku lalu segera menaruh kertas yang kubawa di meja pak Dandi sesuai perintahnya. "Kalau begitu, saya permisi pulang, pak."
Giliran pria paruh baya itu yang mengangguk singkat. Di ruang itu masih banyak guru yang masih terjaga. Rata rata mereka sedang sibuk dengan kertas kertas di hadapan mereka.
Baru saja aku menutup pintu, aku langsung bertemu dengan Galang Pratama. Ia berdiri jauh dariku.
Pria itu langsung berlari setelah menemukanku. Wajahnya terlihat sedang mengkhawatirkan sesuatu.
Sikapnya mudah berubah. Ia memegang kedua lenganku lalu beralih ke bahuku kemudian tengkuk leherku seakan sedang memastikan keadaanku. "Kau tidak apa apa?"
Dugaanku benar. Nada bicaranya pun terdengar khawatir akan sesuatu. Aku hanya menatapnya kebingungan.
"Tidak."
Mendengar jawaban singkatku, ia langsung menghela nafas lega. Tiga detik kemudian aku sudah berada dalam dekapannya.
Apa yang terjadi dengan pria ini?