Galang POV
Angin malam membawaku berada dalam sebuah taman yang tak jauh dari rumah. Lampu bulat taman tertanam di beberapa sisi disertai kursi putih tak berpenghuni.
Tak hentinya aku melangkah, menyusuri jalan setapak di antara rerumputan dengan hoodie yang membalut tubuhku.
"Nadira" ucapku pelan.
Gadis itu duduk sendiri. Entah apa yang dilakukannya ketika malam selarut ini. Seingatku, rumahnya jauh dari sekolah bahkan berlawan arah dengan rumahku. Lalu kenapa dia ada disini?
Aku berjalan mendekat, menemaninya mungkin ide yang bagus. Perempuan seperti Nadira tidak boleh sendirian di tempat sepi apalagi sudah larut malam.
Nadira menoleh ketika aku tiba tiba datang dan duduk di sampingnya. Matanya bengkak, merah, dan basah karena air mata yang tak henti lolos dari matanya.
Dia memelukku erat, terisak dengan tubuh yang bergetar hebat. Tangisannya pecah detik itu juga tanpa kutahu sebabnya. "Sakit sekali.."
Hanya kata semacam itu yang keluar dari bibirnya walaupun berkali kali kutanya.
...
Aku terbangun di sebuah ruang dengan bangku yang berjejer rapi serta papan tulis di hadapanku. Barang barang seperti jam dinding, lukisan, dan bendera merah putih juga ada dalam ruang itu.
Kutengok bangku di belakangku. Sebelum aku tertidur, Nadira masih duduk disana dengan tumpukan buku yang menemaninya. Pasti gadis itu sudah pulang dan sengaja meninggalkanku.
Sekilas mimpi yang baru kualami mengusik pikiranku. Tentang Nadira yang menangis saat malam di sebuah taman.
Aku langsung bergegas mencari gadis itu untuk memastikan keadaannya. Kuharap ia masih ada di area sekolah mengingat hujan yang tak kunjung reda.
Nihil. Aku tidak menemukan gadis itu dimana pun walaupun sudah kutelusuri sekolah ini. Tidak ada orang yang bisa kutanyakan keberadaannya karena sekolah sudah sepi, langit juga semakin gelap.
Satu satunya harapan adalah pak satpam. Pos satpam berada di dekat gerbang, otomatis pak satpam tahu siapa saja orang yang masuk keluar sekolah.
Belum sempat aku ke tempat itu, aku berhasil menemukan sebuah jawaban. Gadis dengan kuncir kuda itu berdiri di depan pintu ruang guru.
Kuhela nafas lega kemudian berlari ke arahnya. Akhirnya kutemukan Nadira.
"Ada apa?"
"Kau tidak apa apa?" tanyaku.
Ia hanya mengangguk. Bingung dengan situasi saat ini, aku bisa membaca dari raut wajahnya.
Aku tidak mengerti kenapa aku sekhawatir ini tapi kekhawatiranku hilang ketika aku menemukannya dengan kondisi yang jauh berbeda dengan mimpiku tadi.
Kemudian aku mendekap gadis itu dalam pelukanku. Sesekali mengusap kepalanya. "Syukurlah, kau baik baik saja."
Hal itu tak berlangsung lama, ia mendorong tubuhku menjauh dan merusak moment yang baru saja kuciptakan.
"Ada apa denganmu? Kau tidak bisa memelukku seperti itu. Dasar pria mesum."
"Mesum? Hanya memeluk kau sebut aku mesum?"
"HANYA kau bilang? Ah, pasti kau sering memeluk gadis gadis kan? Maaf, aku bukan tipe gadis seperti itu."
"Kau akan menjadi satu satunya gadis yang boleh memelukku. Jadi, kemarilah." Aku melebarkan kedua tanganku, mempersilahkan gadis itu memelukku.
Gadis itu justru melangkah keluar dan meninggalkanku lagi. Ia berjalan cepat untuk menghindariku tapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku mengambil arah yang berbeda, aku harus mengambil motorku terlebih dahulu.
Ia berjalan keluar area sekolah setelah melempar senyum kepada satpam yang berjaga. Lalu disusul aku di belakangnya.
Tinn tinn
"Naiklah, aku akan mengantarmu pulang."
Gadis itu tak menolehkan wajahnya sedikitpun. "Aku akan menunggu bus disini."
"Kau akan sampai lebih cepat jika pulang bersamaku. Langit juga sudah gelap, kau yakin naik bus?"
"Apa masalahnya jika langit gelap?"
"Ah kau ini jual mahal sekali. Ayo naik, aku bukan kriminal, tidak usah khawatir."
Ia menggeleng, "Tidak usah. Busku sudah datang."
Setelah ia melambaikan tangan, sebuah bus pun segera berhenti. Kemudian ia masuk ke dalam bus tersebut.
...
Nadira POV
Bus berhenti di terminal sebagai pemberhentian terakhir. Aku pun turun dan harus berjalan sedikit untuk sampai ke rumahku.
Hari benar benar sudah gelap. Mungkin ini pertama kalinya aku pulang sampai malam. Saat dulu SMP aku selalu pulang sebelum jam tiga sore karena bel pulang sekolah lebih awal dan jaraknya yang tak jauh dari rumahku.
Berbeda dengan sekarang, setelah naik bus aku harus berjalan untuk sampai di rumah. Sangat melelahkan.
Aku membuang nafas di sela perjalananku. Sebentar lagi aku sampai, pasti ibu telah menyiapkan makan malam untukku. Tenang saja Nadira, semua ini akan terbayarkan sebentar lagi.
"Ternyata rumahmu sejauh ini."
Aku menoleh, seorang pria entah dari mana datangnya. Tiba tiba saja ia sudah berjalan di sisiku. "Penguntit."
"Aku hanya memastikanmu pulang dengan selamat. Karena kau menolak kuantarkan pulang, aku terus memikirkanmu."
Aku berdecih. Untuk kesekian kali kudengar ia mengucapkan kalimat manis padahal kami baru bertemu. Aku berani jamin, ia bersikap manis kepada setiap gadis.
"Harusnya kau bersekolah di area tempat tinggalmu. Atau kau pindah rumah dekat SMA Nusantara. Kenapa harus naik bus dan berjalan jauh seperti ini, hm? Ah, kau menyulitkan sekali."
"Itu salahmu menguntitku."
"Itu karena aku mencemaskanmu. Kau tahu? Bagaimana cemasnya aku ketika terbangun tadi?"
"Kau takut saat kau terbangun dalam kelasku sendirian dan langit mulai gelap, begitu?"
"Bukan, bukan itu. Aku bermimpi kau.." Ia tak melanjutkan ucapannya dan berhasil membuatku penasaran. Ia berbicara seakan tidak sengaja membocorkan suatu rahasia.
"Mimpi apa? Aku kenapa?"
Ia menggeleng, "Lupakan saja. Mimpi hanya bunga tidur seperti kata orang."
Aku terdiam.
Suasana pun berubah canggung, tidak ada yang membuka suara. Hanya suara langkah kaki kami yang terdengar, juga sesekali suara mobil dan motor yang melintas. Sampai aku menyadari bahwa rumahku sudah di depan mata. Rumah bercat khaki itu berada dalam komplek pedesaan namun tetap terlihat modern. "Kita sudah sampai. Kau bisa pulang sekarang."
"Mmm oke, tapi kau tidak boleh menolak untuk berangkat bersamaku besok."
"Rumahku jauh. Kau harus bangun pagi buta untuk menjemputku."
"Tidak masalah." jawabnya cepat.
Aku segera masuk ke rumah tanpa bertele tele mungucapkan terimakasih sudah menemaniku berjalan atau memulai debat seperti sebelumnya. Sudah terlalu lelah untuk melakukan itu.
Membayangkan betapa empuknya kasur, hangatnya air yang akan kupakai mandi, dan lezatnya makan malam yang disiapkan ibu sudah membajak isi otakku saat ini.
Sementara Galang masih setia berdiri di depan. "Aish, benar benar gadis menjengkelkan."