Tiga

37 2 0
                                    

-Nadine's POV-


"Nadine," ucap Mike padaku. Aku menoleh mendapatinya telah menutup buku matematika yang sedari tadi ia pelajari. "Kenapa, Mike?" tanyaku.

Ia membenarkan posisi duduknya. Keseriusan terpancar dari kedua bola mata hitamnya.

"Aku memiliki pertanyaan yang selama ini telah kusimpan tetapi tak pernah kutanyakan padamu," katanya.

"Apa itu?" jawabku dengan kembali bertanya.

"Aku selalu memperhatikan walaupun kamu tidak pernah menyadarinya. Nadine, kamu telah banyak menolongku. Kamu itu tipe orang yang tidak memandang siapa sosok yang kamu tolong. Pada saat awal aku mengenalmu, aku mengenal dirimu sebagai sosok yang baik hati kepada semua orang. Baiklah, semua orang tahu akan hal itu." Matanya tertuju pada pensil yang ia mainkan sedari tadi.

"Saat aku butuh tempat untuk bercerita, kamu dengan sigap menerimaku, menopangku di kala aku sedang terjatuh. Tapi, aku tidak pernah melakukan hal yang sama. Selama aku menjadi kekasihmu, kamu tidak pernah mengeluh sama sekali terhadap masalah apapun yang ada dalam hidupmu. Mustahil bagiku jika manusia hidup tanpa memiliki masalah. Tapi kamu tidak pernah datang untuk bercerita padaku, padahal beberapa waktu yang lalu aku mendapatimu terlihat tampak sedih. Itu terpancar dari sorot matamu," lanjutnya.

"Aku sering bertanya padamu apakah kamu baik-baik saja? Atau kamu sedang sakit? Atau ada seseorang yang mengganggumu? Tapi kamu selalu menjawab "Apa yang kau bicarakan, Mike? Aku tidak kenapa-kenapa kok." tentunya kamu selesaikan kalimat itu dengan senyum yang mengembang pada bibirmu." Kini matanya menatapku. Aku tersenyum padanya. Aku tahu dia masih mau melanjutkan perkataannya.

"Sahabatmu juga tidak pernah mendengar keluh kesahmu, bukan begitu? Aku telah bertanya pada mereka. Dan kurasa mereka tak akan bisa berbohong padaku karena sesungguhnya mereka takut pada diriku yang berandal ini." Ucapannya membuatku tertawa.

"Benarkah? Mereka takut? Padahal dirimu tidak menyeramkan bagiku," jawabku disela-sela tawaku.

"Beberapa hari ini aku amati kamu tampak kurang bersemangat. Ada apa?" tanyanya.

Aku kembali tersenyum, "Aku baik-baik saja, pangeranku." Aku mengacak-acak rambut hitamnya lalu menepuk pipinya perlahan.

"Aku tidak akan memaksa jika kamu tidak ingin bercerita." Ia tersenyum padaku. Sungguh, dia adalah sosok yang sangat lembut terhadapku.

"Mike, berapa umur nenekmu?" tanyaku.

"Apa yang kamu bicarakan? Aku 'kan sudah tidak punya nenek," jawabnya.

"Maksudku, selama dia hidup, berapa umurnya?" tanyaku kembali.

"Sekitar 70-an," ucapnya.

"Sepupuku hanya memiliki waktu 10 tahun di dunia, kau tahu?" ucapku.

"Apa maksudmu membahas ini? Aku tidak suka!" Ia mengerucutkan bibirnya. Aku tertawa pelan. Terkadang ia seperti anak kecil.

"Mike, tidakkah kamu ingin tahu mengapa aku tidak pernah mengeluh dihadapanmu atau orang-orang terdekatku lainnya?" tanyaku. Ia mengangguk.

"Baiklah. Pernahkah dirimu kecewa? Maksudku, benar-benar kecewa hingga kamu tidak dapat mempercayai orang lain kembali?" tanyaku.

"Tergantung. Tapi.. kurasa tidak pernah," jawabnya.

"Aku memiliki luka yang sulit untuk kututup. Aku kecewa pada seseorang yang dulunya sangat berarti bagiku. Aku percaya bahwa waktu yang kami miliki akan lama. Aku sering bercerita padanya, menyampaikan masalahku, meminta bantuan. Dia sahabatku." Aku tersenyum mengingatnya sedangkan Mike hanya memperhatikan.

"Tapi ketika dia menghilang tanpa kabar, rasa percayaku pada orang lain seketika sirna. Tiga tahun tanpa kabar, sengajakah dia memutus tali persahabatan?" Aku menghela napas lalu bersandar pada tubuhnya.

"Maafkan aku. Bukannya aku tidak mau terbuka padamu dan orang terdekatku. Aku tidak bisa. Maksudku.. belum bisa. Aku takut jika aku menceritakan keluh kesahku, kamu akan pergi bukan karena tidak suka mendengarkannya, tetapi karena waktumu telah habis," jelasku.

"Apa maksudmu? Waktuku habis? Aku mati?" tanyanya.

"Kamu harus mengerti setiap orang memiliki jangka waktu tertentu dalam kehidupan orang lain. Jangka waktu tersebut terkadang bukan yang kita inginkan. Jika kamu ingin seluruh hidupmu kamu habiskan bersamaku tetapi Tuhan telah menggariskan waktumu hanya satu perempat lamanya dalam hidupku, bagaimana? Setelah itu kamu masuk ke dalam kehidupan orang lain. Bisa saja 'kan? Ketika aku menganggap dirimu sangat berarti bagiku dan aku bersifat terbuka padamu, setelah itu kamu lenyap dari kehidupanku, bagaimana? Ketika kamu berjanji untuk tetap berada di sisiku tetapi kamu tidak lagi tinggal di sisiku bagaimana? Maaf jika aku terlalu berpikiran negatif. Aku hanya takut. Sangat takut." Aku memeluknya.

"Kamu pasti berpikir bahwa aku ini berlebihan. Aku tidak seharusnya bersikap seperti ini. Aku tidak seharusnya meragukan dirimu atau bahkan sahabat-sahabatku. Benar?" tuturku. Ia menggeleng, "Tidak."

"Kamu harus tahu, kamu harus paham. Bukan maksudku egois untuk memaksamu memahamiku. Sekarang yang ada dalam pemikiranku adalah bagaimana caraku menghabiskan waktu bersama orang-orang di sekitarku dengan sebaik-baiknya. Aku tidak tahu apakah kita akan saling mengenal hingga pekan depan? Bulan depan? Tahun depan? Atau bahkan selamanya? Yang jelas, aku ingin membuat diriku sebagai orang yang berguna dalam kehidupanmu. Aku ingin mengukir pada ingatanmu segala hal yang baik tentangku. Aku ingin berusaha yang terbaik agar aku bisa membahagiakan setiap orang yang singgah dalam hidupku." jelasku. Ia tersenyum mendengarnya.

"Jika aku tidak melakukannya sekarang, kapan lagi? Sekarang atau tidak sama sekali? Jika aku menunggu untuk membahagiakan orang lain, aku tidak akan pernah bisa melakukannya karena waktuku dan waktunya akan sirna. Aku ingin membuat hal yang berkesan dalam ingatanmu juga orang lain. Aku ingin diingat sebagai orang yang baik," jelasku lagi.

"Orang yang ceria, penyelamatku, pandai, dermawan, ramah, tegas, itu yang kusimpan dalam ingatanku. Dan aku sangat memahami dirimu. Kamu tidak bermaksud jahat dalam hal ini. Aku mengerti jika kamu belum bisa bercerita. Luka memang memakan waktu dalam hal kesembuhan. Yang ingin kukatakan adalah aku mendukung perbuatanmu. Berbuat baiklah, Nadine. Tetaplah menebar kebahagiaan pada kehidupan orang lain. Dan jangan takut. Perihal aku akan meninggalkanmu kelak, jika aku ditakdirkan bersamamu, pasti aku akan kembali. Jalani saja sebaik yang kita bisa, Nadine. Kamu itu malaikatku. Tetaplah menabur benih kebahagiaan karena itu merupakan hal yang selalu kamu lakukan." Ia memelukku kembali.

Perkataannya benar-benar membuatku tersenyum.

"Satu lagi, aku akan berusaha semampuku untuk memberikan yang terbaik dalam rentang waktu yang kumiliki bersamamu. Tapi aku berharap Tuhan menggariskan takdirku bersamamu." Ia menyubit hidungku pelan. Aku tertawa kecil. "Semoga, ya!" ucapku bersemangat.






•a.a.d

#12LettresAA

#Nichael12Lettres

Nadine dan Michael (Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang