Ah, Kiran benci situasi ini.

44 3 0
                                    


Hujan lagi.

Gadis berwajah wanis tersebut menggerutu pelan. Melihat ke arah hujan dengan sebal, tapi walau begitu tangannya malah dengan asyik menadah hujan. Hari itu sudah hampir senja, sekolah sepi, yang tersisa hanya beberapa anak yang sibuk ekskul –yang sepertinya juga akan pulang, dan gadis itu sendiri. Rumah gadis itu dekat. Tidak lebih dari satu kilo meter. Tapi ia sangat benci basah. Basah membuatnya ingin marah marang sepanjang hari dan sialnya ia tidak membawa payung hari ini. Bukan cuma hari ini, sebenarnya ia bahkan tidak pernah membawa payung.

17.30 dan hujan masih belum menunjukkan tanda tanda akan berhenti.

Dengan terpaksa akhirnya gadis itu menyerah. Tas warna pelanginya ia taruh di atas kepala. Baru saja ia mau melangkahkan kakinya ketika ia menyadari bahwa ada seseorang yang memayunginya. Kalau ini novel romantis, si pemegang payung harusnya laki laki yang umurnya tidak jauh beda dengannya, tampan, dan ramah hatinya. Sayang, ini bukan novel romantis, ini kehidupan nyata gadis itu. Gadis itu tertawa konyol mengetahui siapa yang memegangkan payung untuknya. Si pemegang payung memandangnya seakan akan berkata 'orang gila dari mana ini? Tertawa sendiri'

Pak Narno si satpam sekolah ternyata... ah, ia kira siapa..

"Jangan hujan hujanan neng, ntar sakit, ini bapak pinjemin payung... besok kembaliin aja di pos ya neng." Belum sempat Kiran mengucapkan terima kasih, tapi bapak itu telah pergi. Payung itu siap Kiran pakai ketika ia melihat seseorang yang ia kenal masuk ke dalam mobil di seberang jalan. Sebelum pintu ditutup Kiran sempat melihat seorang wanita cantik yang menyetir mobil tersebut. Tumben laki laki caper itu tidak bawa sepeda, ucap Kiran dalam hati. Ah ia tak peduli.

Masih hujan senja itu, Kiran akhirnya sampai rumah dengan kering.

***

Pagi harinya Kiran datang lebih awal, payung bergambar lambang salah satu minimarket terkenal di kotanya itu ia jinjing, sekolah masih sepi, tiba tiba saja terlintas pertanyaan 'hari apa ini?' di kepalanya, ia kemudian melihat bajunya, abu abu putih lengkap dengan dasi. Berarti senin. Ah sial. Hari ini sejarah, ia tak pernah suka sejarah, dari dulu, entahlah terlalu banyak tulisan membuatnya pusing. Harusnya dulu ia masuk jurusan IPA, tapi ia juga tak sanggup menghadapi kimia dan kawan kawannya. Oke, mungkin ia memang tak berbakat di bidang akademik, eh tapi? Apa ada yang sudah ia lakukan di bidang non akedemik? Ia tertawa nyaring dalam hati. Tidak ada hal baik dalam dirinya.

Sampai di pos, Pak Narno dengan hangat menyambutnya.

"Makasih ya pak.. saya belum sempat bilang kemaren."

"Iya neng, lain kali jangan lupa bawa payung neng, akhir akhir ini hujan terus neng."

Kiran hanya tersenyum. Baru saja ia mau berbalik pergi ke kelas ketika suara menjengkelkan itu ada. Kiran kenal suara itu, suara...

"Enggak usah repot repot atuh nak Dimas, " ucap Pak Narno dengan logat sundanya yang kental, ia mungkin termasuk sebagian kecil orang sunda yang terdampar di kota kecil ini. Dimas, teman sekelasnya itu terlihat menyerahkan bungkusan yang Kinar kira pastilah nasi kuning kepada pak Narno. Ternyata ia tak cuma suka cari muka di depan guru sejarah, tapi pak Narno juga!

"Bareng aja yuk Kir.." ajak Dimas sembari tersenyum. Senyum yang menjengkelkan. Senyum yang membuat banyak perempuan di sekolahnya meleleh.. 'katanya'. Dan kenapa harus Kir sih? Semua anak di sekolah ini memanggilnya 'Ran' bikan 'Kir'.

'Kir apa coba... emang Kikir?! ingin rasanya ia bilang begitu, tapi tak pernah bisa.

"Duluan aja Dim, aku mau ke perpus dulu." Ia memang tak pernah menunjukkan ketidaksukaannya secara terang terangan pada Dimas.

Sebuah Cerita Antara Aku dan KamuWhere stories live. Discover now