Kupu-Kupu yang Bahagia

51 6 0
                                    

Rasanya aku berada di kegelapan dalam waktu yang sangat lama. Sepi. Sunyi. Tak ada siapapun di sini, hingga seorang laki-laki bertudung hitam muncul.

Postur laki-laki itu tak jauh berbeda denganku. Ia menunduk, sehingga wajahnya tak terlihat. Awalnya kupikir ia adalah malaikat maut yang siap membawaku pada kematian. Namun ia tak terlihat seperti ingin membawaku.

"Siapa kamu?" tanyaku.

"Aku...anggap aku adalah 'teman' sementara."

"Teman? Berarti kamu tak sepenuhnya bisa kupercaya," aku menatapnya sinis. "Karena banyak seorang 'teman' yang menusuk temannya dari belakang."

Si 'teman' ini tertawa. "Lalu, kau mau menganggapku apa?"

"Malaikat pencabut nyawa."

"Kenapa kamu berpikir seperti itu? Kalau aku adalah malaikat pencabut nyawa, seharusnya aku membawa scythe*."

"Bisa saja kamu meninggalkannya di rumahmu."

Si 'teman' lagi-lagi tertawa. "Imajinasimu lumayan."

"Kenapa kamu datang padaku?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Aku ingin memberi tahu sebuah hal yang dititipkan untukmu," Si 'teman' mulai serius.

Aku mengernyitkan dahi. "Dari siapa?"

"Aku tak akan mengatakan siapa yang menitipkan itu untukmu. Jadi, jangan tanya."

"Apa yang ingin disampaikannya?"

Tiba-tiba setitik cahaya muncul dari kejauhan. Cahaya itu mendekatiku dan terus membesar. Kurasa, cahaya itu akan mengembalikanku ke dunia asalku.

"Dia bilang, 'Aku mencintaimu dan selalu mencintaimu walau jarak memisahkanku denganmu.'."

"Ha? Apa maksudnya?" tanyaku bingung.

Cahaya itu kini telah menyentuhku. Butuh beberapa detik lagi sebelum cahaya itu sepenuhnya menyelimutiku.

"Ah, satu lagi," Si 'teman' megabaikan pertanyaanku. "Kamu benar, aku adalah malaikat maut. Tapi tujuanku bukanlah menjemputmu. Saat kamu sadar, melangkahlah dengan kebaikan."

~*~

Aku membuka mataku, sedikit terperanjat. Apa yang sebenarnya terjadi? Malaikat maut menemuiku dan menyampaikan pesan? Aneh. Untung hanya mimpi.

Kamar yang kutempati bukanlah kamar terakhir sebelum aku tak sadarkan diri, bukan pula kamarku di rumah. Ini ruang rawat teetutup di rumah sakit.

Di sampingku terdapat electrocardiograph** yang menunjukkan kurva-kurva yang menandakan irama jantungku. Dadaku terasa perih, seperti ada luka dalam di sana. Tubuhku pun terasa lemas.

Seseorang tiba-tiba masuk ke ruangan tempatku berada. Reynanta. Ia membulatkan matanya dan tersenyum lebar saat melihatku.

"Kapan kamu sadar?" tanya Reynanta seraya duduk di kursi samping tempat tidur.

"Baru saja," jawabku lirih. Tenggorokanku terasa kering. "Apa yang terjadi? Berapa lama aku pingsan?"

"Wow, wow, sabar dulu. Pertanyaanmu akan terjawab seiring berjalannya waktu. Yang penting, kamu harus sehat dulu."

"Pfft," aku menahan tawa. Mana mungkin. Orang yang sekarat mana mungkin akan kembali ke sedia kala.

"Kamu menganggapku bercanda? Aku serius, Erick."

"Oh, iya. Mana Nattaya?" tanyaku, mengabaikan sanggahan Reynanta.

Reynanta terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaanku. Tapi kemudian ia tersenyum. "Tumben kamu menanyakannya."

Kupu-Kupu yang Bahagia [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang