Luciditus - Prolog

54 5 0
                                    

Bunga kecil tak berdosa di celah retakan tanah lumat digilas alas sepatu bot keras berlumpur, pria itu berjalan terseok-seok dengan sebelah kaki kayu palsunya di balik celana kain panjang longgar yang kusam. Langit luas malam ini, entah ke mana semua bintang di balik kepulan awan hitam yang menggulung. Pria itu telah melewati perjalanan yang jauh, nafasnya tersengal dan otot-ototnya terasa sakit, namun dia hanya menatap hampa saat tulisan di pagar dinding raksasa itu terpampang di depannya.

PERBATASAN – SIPIL

UNDANG-UNDANG X-12.2030, PERJANJIAN LUCIDITUS

"Ah!" Pria itu mengerang sambil menghempaskan punggungnya ke dinding kosmik yang terasa padat, dia menutup wajah dengan kedua tangan lalu merosot untuk melepas nafas beratnya. Mantel putih lusuhnya yang sudah berwarna keabu-abuan berkelebat pelan ditiup angin, hawa dingin menusuk leher dan dadanya.

Syukurlah, akhirnya bisa kudapatkan... pria itu menyentuh kantong mantelnya yang dalam, bentuk pipa silinder kecil terasa di telapak tangannya.

Dinding tempat dia bersandar itu menjulang hingga 30 kaki, dan membentang sepanjang mata memandang, di sekitar dinding ini tak ada bangunan atau properti apapun, hanya tanah lembek lembab yang kotor. Dinding ini tidak "dibangun" di atas tanah lembek, lebih tepatnya dipancarkan melalui alat pemancar oleh Departemen Pemerintah ke sebuah alat pengolah dindingnya di beberapa titik dan tak terlihat di sekitar dinding. Semacam gabungan manipulasi energi frekuensi memadatkan ruang hampa hingga sekeras baja dan kilasan cahaya berwarna-warni kilau buatan melibas di sekujur dinding untuk menandakan eksistensi dinding yang tak terlihat tersebut, membuat ilusi kalau dinding pembatas ini seperti batu mineral yang berkilauan. Dan walaupun pria itu seorang dokter dia tak bisa memahami teknologi yang membuat neutron dan proton serta partikel besi dalam jenis cosmic ray tertentu bisa dipadatkan di udara.

Teknologi canggih berkilauan seperti ini terlihat janggal di tengah-tengah pedalaman hutan terpencil yang diwarnai kegelapan malam hari.

Dua orang berseragam tentara bersenjata otomatis non-Kosmos lama buatan Manusia menyambut pria yang mendekati pos portal penjaga batas wilayah dengan siaga, pria yang setengah pincang terseok-seok itu menatap sayu tanpa ancaman sama sekali.

Pria yang akhirnya mencapai pos penjaga portal masuk setelah lama berjalan terseok-seok dari kejauhan itu menunjukan tanda pengenal yang dikalungkan di lehernya. "Dokter Panji, dari agensi untuk negeri. Aku bekerja untuk Luciditus."

"Hadapkan wajahmu ke pemindai," perintah salah satu petugas. Pria itu menurut tanpa emosi.

Tentara itu mengerutkan dahi saat mengamati layar hologram 3 dimensi yang berputar di tangan kanannya.

"Apakah ada masalah?" Tanya pria lusuh itu dengan suara letih, kacamata beningnya nampak merosot ke batang hidung.

Tentara yang mengoperasikan gadget piringan komputer di dekat portal dinding itu memberikan ekspresi wajah yang mengeras. "Maaf Dokter, kau melebihi 10 menit dari waktu yang diberikan otoritas sektor ini. Kau tahu sangsinya kan? Kunjungan ilegal."

Panji memejamkan matanya sambil menghela nafas. "Aku harus berjalan kaki ke sini, seberapa cepat aku bisa sampai? Pakailah akal sehat kalian."

Kerajaan Luciditus tidak menandai wilayah-wilayahnya dengan nama lama, hanya mereka Manusia yang hidup terkucilkan terkadang masih memakai nama wilayah itu, hanya karena orangtua dari orangtua mereka dulu masih sering memakai istilahnya. Nama-nama wilayah itu adalah sisa-sisa ingatan yang kian terhapus seiring berjalannya waktu dan suatu saat akan terlupakan sama sekali, hingga yang ada hanya Luciditus.

Luciditus (2030 Indonesia Bubar!)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang