25 | suara

5.7K 1K 808
                                    

Langit biru bercermin indah di perairan Sungai Han. Di ujung jembatan sana, gedung-gedung terlihat seperti kumpulan lego warna putih yang disusun acak, sementara di belakangnya terdapat pegunungan yang sedikit tertutupi kabut.

Aku mendongak ke atas. Silau sekali. Aku cukup yakin mentari akan terasa hangat di kulitku jika saja angin tidak bertiup sekencang ini.

Beberapa orang duduk di kursi yang terletak beberapa langkah dari pagar pembatas. Ada juga yang sedang bersepeda, namun sejauh mata memandang, aku tidak dapat melihat Jinsoo di mana pun.

Aku kembali menatap ponsel, terus-terusan mengirim pesan pada lelaki itu.

Awas saja jika ia tidak ada. Begitu pikirku saat merasakan seseorang menepuk pudakku dari belakang.

Itu dia.

Entah karena sudah aku terlalu lama tidak bertemu dengannya, atau karena wajahnya terlihat lesu—dapat kurasakan hatiku mencelos. Sebelum air mata tumpah di pipiku, aku segera menenangkan pikiran dan menyodorkan buket bunga ke depan badannya dengan kasar.

"Selamat atas kelulusanmu, sialan."

Ekspresi wajahnya berubah, Jinsoo nyaris tertawa. "Mendengarmu mengumpat benar-benar lucu, kau tahu?"

Aku mengabaikan ucapannya. "Dari mana saja kau? Kenapa kau juga ikut menghilang? Apa kau tahu betapa sengsaranya aku dan Jaewon?"

"Wow, wow, tenang. Pertama, mari kita duduk." Ia menunjuk salah satu kursi yang kosong, lalu mengajakku ke sana.

Meski kami duduk cukup jauh dari perbatasan, angin tetap saja menerpa wajahku tanpa ampun. Rambutku berantakan bukan main, aku akan menyalahkan Jinsoo jika beberapa helai rontok saat aku menyisir.

Ia masih mengenakan seragam di balik jaket cokelat. Tas besarnya terlihat penuh, aku tidak tahu apa yang ia bawa di dalam sana.

Aku masih menunggunya untuk berbicara. Jinsoo sedari tadi hanya duduk tegak dengan buket bunga pemberianku di pangkuannya, wajahnya lurus ke depan tapi sorot matanya mengawang di udara.

"Dia tidak pindah, tapi dipindahkan." Kalimat pertama yang keluar dari mulutnya setelah lima belas menit berlalu. "Orang tuanya yang memaksa, pada awalnya Yujin tidak tahu sama sekali bahwa surat kepindahannya telah selesai diurus."

"Jadi maksudmu, dia benar-benar sudah pergi ke Australia?"

Senyum miring tergambar di wajahnya saat ia menunduk, "awalnya begitu. Tapi sebelum tahun baru kemarin, keluarga mereka kembali ke Korea."

Ada suara dalam hatiku yang sedang bersorak gembira. "Mereka kembali?"

"Ya dan tidak. Memang benar Yujin kembali ke Korea, tapi dia tidak kembali pada kita."

"Oke, dengar, Kim Jinsoo. Aku telah menunggu berbulan-bulan untuk ini dan aku ingin mengetahuinya dengan jelas. Jadi tolong jangan berbicara seakan ini adalah sebuah teka-teki atau apa. Aku hanya butuh kebenarannya," ucapku mulai jengkel.

Jinsoo tertegun. "Maaf, aku hanya gugup. Takut salah bicara."

"Biar aku tanya. Apakah setelah Yujin pindah, dia masih mengontakmu?"

Lelaki itu menggeleng.

"Lalu bagaimana kau tahu tentang semua ini?"

Ia hanya terdiam. Aku berusaha membaca sorot matanya. "Tunggu. Jangan bilang kalau.."

"Benar. Aku mencarinya ke sana."

"Kau ke Australia?"

Jinsoo mengangguk, "Ternyata mereka bukannya pindah ke Australia. Hanya megunjungi sepupunya dan menetap di sana sementara. Dan akhirnya kembali ke Korea. Tapi bukan di sini, mereka pindah ke Yeosu."

MoonwisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang