6 | titik jatuh

8.9K 1.5K 284
                                    

All relationships have one law:
never make the one you love feel alone,
especially when you're there.

--

"Ada apa dengan Jaewon sunbae?" tanya Dowoon yang sedang berjalan masuk ke ruangan.

"Bukan hal yang penting. Ayo pulang," aku berdiri dan mengambil tasku. Namun aku berhenti begitu mendengar Dowoon berbicara, "aku juga sudah dengar. Beberapa teman kelasku yang perempuan sering membicarakannya."

Satu hal yang kusadari, ekspresi lelaki itu tidak sedamai biasanya. Saat melontarkan kata-kata itu, pandangannya padaku cukup dingin.

Juga sudut bibirnya yang selalu tertarik ke atas bahkan ketika sedang berbicara, kini tidak nampak sama sekali. Sinyal tanda bahaya berbunyi dalam kepalaku, memintaku untuk lebih berhati-hati.

Aku memalsukan senyum. "Mari kita bicarakan nanti," kulirik Yujin dan Jinsoo. "Tidak di sini, okay?"

Akhirnya aku berhasil meyakinkan Dowoon untuk menunda percakapan itu. Pasalnya, aku tak pernah melihat ia cemburu. Kami juga tidak pernah melakukan pertengkaran yang besar, dan jika itu pun akan terjadi, aku tak ingin melakukannya di hadapan teman-temanku.

Selama di perjalanan, Dowoon tidak berbicara banyak. Ia hanya menjawab pertanyaan-pertanyaanku seputar tugas bahasa dan latihan futsalnya hari ini dengan singkat. Hal ini cukup membebani pikiranku. Hingga aku turun dari motornya dan berdiri di hadapannya, sebuah pikiran terlintas di kepalaku.

Aku tidak boleh membiarkan ini membesar dan merambat ke mana-mana. Akan kuselesaikan hari ini juga.

Jadi, saat lelaki itu hendak pamit, aku menghentikannya.

"Tunggu, tunggu sebentar," ucapku yang refleks memegang lengannya.

Dapat kulihat dari balik kaca helm yang ia kenakan, Dowoon menaikkan alisnya.

"Mari bicarakan itu sekarang." Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan, berusaha meyakinkan diriku. "Kurasa aku tidak akan bisa tidur jika membiarkanmu pulang sekarang."

Dowoon terdiam beberapa detik, lalu melepaskan helmnya dan turun dari kendaraannya. "Geurae." (Baiklah)

Kami berjalan cukup jauh. Ada tempat yang biasanya kami kunjungi jika Dowoon malas untuk pulang, sebuah taman di belakang satu-satunya apartemen di daerah tempat tinggalku. Ada pohon-pohon besar dan jalur paving block yang membelah dua sisi taman, dengan beberapa kursi panjang putih dan lampu taman solar di tepi. Bulan lalu, aku melakukan first kiss di tempat ini.

Malam ini, di kursi yang sama, dalam hati aku memohon agar Eros-dewa cinta, berpihak pada kami.

Aku menatap ke samping kanan, Dowoon duduk dan memandangi pohon-pohon. Ada jarak di antara kami. Sisi wajah lelaki itu tidak pernah membuatku bosan. Tulang pipinya yang lebar namun terlihat tegas, bibir tipisnya, hidung yang mancung, mata besarnya yang dihiasi bulu mata tipis yang tak lentik-memberi sedikit kesan sayu, alis yang sedikit tertutupi oleh rambut, dan pori-porinya yang sedang terkena cahaya lampu kuning. Ia pasti sadar aku sedang memandanginya.

Ah, jika saja situasinya berbeda, Dowoon pasti akan berkata, "menatap lebih dari tiga detik dikenakan biaya. Silakan bayar di sini." Lalu mengetukkan satu jari di pipinya dan tersenyum jail padaku.

Kusingkirkan bayangan itu jauh-jauh.

"Apa kau marah?" tanyaku, yang sepersekian detik kemudian menyesalinya. Pertanyaan bodoh.

Dowoon bahkan tidak menatapku saat menjawab. "Aku tidak suka kau menyembunyikan sesuatu dariku."

"I'll take that as a yes."

MoonwisherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang