Dua: Sebuah Pemintaan

5.2K 323 36
                                    

"Mas. Boleh aku meminta sesuatu pada Mas?" Dalam keheningan dan kehangatan yang beberapa saat tercipta, Fatima pun mulai bersuara. Atensi Zharif langsung ia kerahkan semuanya pada sang istri.

"Ya. Apa pun itu akan Mas berikan."

"Tolong, panggilkan sahabatku. Aku ingin berbicara dengannya. Secara langsung. Tidak melalui telepon."

"Sahabatmu? Kenapa dia tidak ada di sini menemanimu?"

"Aku tidak memberitahukan ini semua, Mas. Aku takut dia khawatir."

"Siapa namanya?"

"Almira. Almira Chana Hazimah," ucap Fatima lirih. "Suruh dia ke sini, ya, Mas. Aku ingin berbicara padanya. Sekarang."

Zharif tersenyum sembari mengusap kepala Fatima. "Apa kamu tidak apa-apa kutinggal sebentar?"

"Tidak apa-apa, Mas. Tak perlu khawatir."

"Hm, aku ragu. Baiklah. Mas akan minta Suster Dian untuk menemanimu sebentar."

Fatima tertawa kecil. "Iya, Mas. Aku akan menurut," ungkapnya. Mendengar tawa itu, Zharif merasa yakin bahwa semuanya akan kembali seperti dulu kala. Sungguh, ia sangat senang. Doanya telah diijabah oleh Allah.

Sebelum pergi, Zharif menghadiahkan Fatima dengan kecupan lembut di dahi. Fatima memejam saat bibir Zharif begitu terasa di dahinya. Ia ingin waktu berhenti sesaat. Namun, semua sudah tersusun sesuai ketetapan-Nya. Tak ada yang bisa mengubah suatu ketetapan dari-Nya. Seperti kematian yang telah Allah tetapkan sejak lama. Jika Allah berkata "terjadilah," maka terjadilah itu.

Kini, Fatima akan menemui takdirnya. Hanya saja ia ingin mengungkapkan permintaan terakhirnya sebelum malaikat maut mencabut ruh dalam dirinya. 

***

Pagi semakin memancar. Mentari tanpa malu-malu menampakkan sinar terangnya ke penjuru kota. Birunya langit terhampar luas layaknya samudera di lautan. Begitu indah dan memanjakan mata. Sementara indra pendengar dan penciuman, masing-masing dimanjakan oleh cuit-cuitan burung yang saling bersahut-sahutan dan sejuknya aroma pagi yang masihlah minim polusi. Duhai, nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?

Tampak seorang hawa berwajah cerah dengan manik obsidiannya yang berbinar indah. Kedua tungkai di balik jilbab hitam itu melangkah pasti menuju sebuah kedai roti. Seperti biasa menjaga kedai tersebut di pagi hari. Sekaligus membuat roti bermacam rasa dan bentuk yang merupakan hobi yang paling sosok itu sukai. Almira, sosok hawa itu. Pemilik juga pengelola kedai yang telah terbangun sejak setahun ia lulus SMA.

"Iya, nih. Mira lagi sibuk di kedai. Iya, biasa, Bun. Harus datang lebih pagi sama yang lainnya." Almira tampak berbincang dengan seseorang di balik telepon sembari mengelap etalase roti. "Nggak ganggu kok, Bun. Lagian jam segini pelanggan belum-" Ucapannya terhenti ketika terdengar suara lonceng kedai berbunyi.

"Almira tutup dulu, ya, Bun. Nanti dihubungi lagi. Sayang Bunda." Almira bergegas menaruh gawainya di kantong celemek bercorak coklat yang ia pakai.

"Selamat datang di kedai ro-" Almira terdiam. Matanya menatap sesosok pria yang dikenalnya tampak tersenyum lebar. Kemudian, tertegun ia kala melihat sesosok pria lain yang berdiri tak jauh dari kedainya. Sosok yang ia kenal tampak memperhatikan kedainya. Terlihat jelas di pintu kedai yang transparan itu.

"Fikar?" gumam Almira yang masih bisa didengar oleh pria itu.

"Alhamdulillah, kamu masih ingat. Kirain udah lupa." Fikar terkekeh sembari mengusap tengkuknya sedikit salah tingkah. "Gimana kabarmu, Almira?"

Almira mengangguk kecil dengan pikirannya yang masih terbagi. Sosok pria lain yang ia kenal itu masih berdiri di tempatnya berpijak, dengan mata menyorot fokus ke kedainya. Entah kenapa.

Fi Qulub ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang