Bunga ditaburkan secara perlahan di atas gundukan tanah, tempat peristirahatan terakhir Fatima. Air bacaan pun disiramkan setelahnya. Zharif mengusap nisan bertuliskan nama Fatima Inara dengan lembut. Matanya sedikit memerah, menahan segala tangis. Pikirannya memutar kembali ke masa lalu. Masa-masa kebersamaan bersama Fatima yang begitu membahagiakan. Senyumnya, tawanya, selalu terbayang dan tercetak sempurna di benaknya. Zharif tak kuasa menahan dan pada akhirnya meloloskan tangisnya.
Sementara itu, Almira diam berdiri di belakang Zharif dengan Rayya yang ada di sampingnya. Mereka hanya bertiga di sini. Sanak yang lain sudah pergi beberapa waktu yang lalu, begitupun Fikar yang Almira suruh untuk pergi. Terlalu lama pemuda itu menemaninya, kasihan. Perlulah lelaki itu mengistirahatkan tubuhnya, terlebih baru saja datang dari luar negeri. Awalnya, Fikar menolak untuk pergi. Namun, Almira meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Pada akhirnya, Fikar menurut dan pamit untuk pulang.
Rayya yang sangatlah polos itu tiba-tiba menghampiri Zharif dan mengusap air mata pria itu sembari berucap. "Papa, jangan nangis. Papa nggak boleh nangis." Zharif tersenyum. Diraihnya tangan mungil Rayya lalu dikecup telapak tangan mungil itu dengan lembut.
"Terima kasih, Sayang," ucap Zharif serak.
"Ayo kita pulang, Papa."
Zharif rasanya tidak ingin beranjak dari sana. Namun, mengingat waktu sudah semakin larut, Zharif pun menuruti ajakan Rayya untuk pulang ke rumah. Bersama Almira, tentunya.
Di mobil, baik Zharif maupun Almira tidak pernah bicara satu sama lain. Hanya Rayya yang tidak hentinya mengoceh dengan pembahasan yang tidak pernah bertahan di satu pembahasan. Selalu timbul pembahasan yang lain di saat pembahasan yang satunya belum selesai dibahas. Yah, begitulah anak kecil.
"Kalau Ayya sekolah nanti, Ayya janji akan jadi anak yang baik untuk Papa dan Mama," ucap Rayya dengan polosnya. "Oh, iya, kenapa kita jadi pindah lumah, Papa?" tanya Rayya tiba-tiba. Menatap Zharif yang sibuk menyetir. Almira yang memangku Rayya hanya diam, memilih menatap keluar jendela.
"Sebab Papa ingin suasana yang baru," jawab Zharif mengulas senyum tipis. Almira langsung menyadari pesan yang tersimpan di balik kalimat itu. Bahwa Zharif tidak ingin selalu terbayang almarhumah sang istri jika tetap berada di tempat yang memiliki banyak kenangan manis dengan almarhumah. Sebab hal tersebut hanya akan membuat Zharif terus-menerus terpaku dalam kesedihannya.
Rayya hanya mangut-mangut. Gadis itu pun menyandarkan diri pada tubuh Almira dan mulai memejamkan mata. Tak lama kemudian, Rayya pun tertidur. Almira tersenyum menyadari hal tersebut dan hanya bisa mengusap kepala Rayya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Almira," panggil Zharif pada akhirnya.
"Y-ya?" sahut Almira pelan sembari menunduk. Tak ada keberanian untuknya menatap wajah Zharif. Tak sopan kelihatannya. Namun, Almira belum bisa. Belum bisa menghadapi sorot dingin pria itu dalam jarak yang dekat. Ia belum bisa. Lebih tepatnya belum siap.
"Maafkan atas semua yang terjadi. Jadilah Mama Rayya untuk sementara waktu. Setelahnya aku akan menceraikanmu saat Rayya sudah mengerti semuanya." Kalimat tersebut entah kenapa membuat dada Almira berdenyut nyeri. Ia memilih untuk diam. Jika mengiyakan ataupun mengangguk, hanya akan membohongi diri sendiri.
"Perihal pakaianmu, aku bisa mengantarkanmu untuk mengambilnya."
"Ti-tidak perlu. Saya bisa mengambilnya sendiri nanti," ucap Almira cepat. Ia tahu Zharif perlu untuk istirahat sekarang.
"Baiklah."
Suasana pun kembali sunyi. Bertahan sampai mereka tiba di tujuan tak lama kemudian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Fi Qulub ✔
Fiksi UmumAlmira dan Zharif di hadapkan oleh sebuah pernikahan wasiat dari Fatima, istri Zharif. Sebab Rayya--anak satu-satunya Zharif dan Fatima--masihlah kecil dan membutuhkan sesosok ibu. Pernikahan pun terjadi atas dasar paksa. Namun, ketika hubungan mula...