Kehidupan dengan dipenuhi jadwal yang sangat padat bagi Fio itu menjadi kebiasaannya. Ketika kuliah menjadi prioritas di sisi lain menjadi model dan beberapa pekerjaan yang selalu Fio kerjakan sudah menjadi rutinitasnya sejak remaja. Ada saatnya lelah untuk menjalani semua itu yang sudah tersusun rapih dan harus selalu Fio lakukan, tidak bisa mangkir karena Fio sendiri merasa senang dan begitu membutuhkannya.
Mengawali karirnya menjadi model sejak usia remaja tidak mudah untuk Fio, apalagi dalam pengawasan seorang nenek sebagai satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Fio. Walaupun saat ini Fio tidak memiliki pekerjaan sebenarnya Fio tidak akan begitu risau bagaimana masa depannya nanti karena Margerti merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses di Jakarta, dan memutuskan untuk tinggal di kota kecil bersama Fio sekadar menemani Fio sebagai cucu perempuan satu-satunya.
Fio segera menepikan mobilnya begitu dirasa ada yang bermasalah. Entah ada masalah apa dengan mobilnya Fio sangat tidak mengerti. Melihat daerah dimana ia berhenti sepertinya akan sulit untuk menemui bengkel.
Fio segera mengeluarkan ponselnya. Menghubungi Gema untuk memberitahukan dimana posisinya. Namun terhitung sepeluh menit setelah pesan itu terkirim tidak ada balasan dari Gema padahal kekasihnya itu sudah membacanya. Fio menjauh dari mobil, meneduhkan dirinya di bawah pohon yang lumayan bisa meneduhkan tubuhnya. Sebenarnya angkutan umum beberapa kali menawarinya tapi mana mungkin Fio meninggalkan mobilnya di tempat seperti ini.
Selang beberapa menit, sebuah mobil berwarna silver menghampirinya. Berhenti tepat di depan Fio, entah apa maksud sang pengemudi. Mata Fio menyipit begitu jendela mobil perlahan terbuka menampilkan sosok laki-laki yang langsung tersenyum begitu melihat Fio.
"Mbak, nunggu bookingan?"
Fio mendengus setelah mengetahui siapa laki-laki itu. Tanpa menjawab Fio seolah tak mengenalinya dengan memasang muka dangah dan angkuh.
"Mogok, ya?"
"Menurut lo?"
"Jangan galak atuh mbak, saya kan cuman nanya."
"Makanya gak usah banyak nanya."
Setelah itu tidak ada lagi sahutan. Laki-laki itu menoleh ke arah lain, seperti berbicara dengan seseorang. Memang benar ternyata ada seorang perempuan di sampingnya, mereka seperti membicarakan sesuatu yang cukup serius.
Tapi Fio tidak peduli.
"Butuh tumpangan?"
"Gak. Lo boleh pergi." Tolak Fio dengan gamblangnya.
"Fi, lo tau, kan. Kelas bentar lagi dimulai. Emang lo mau dimarahin terus sama Bu Emma karena lo telat terus?"
Seolah diingatkan, bibir Fio mendumel kesal. Celaka jika kali ini ia terlambat lagi, nilai E sedang menunggunya.
"Gue lagi baek, nih. Kalau gue sih ya gak masalah lo telat atau enggak, tapi ya lo mikir aja Fi, lo yang bikin masalah satu kelas kena imbasnya. Kali-kali lo pengertian dong sama temen, apa gak kasihan mereka selalu kena imbas karena lo yang terus—"
"Oke, gue ikut." Potong Fio dengan cepat. Kalau diteruskan yang ada telinganya semakin memerah.
Cukup kali ini saja ia menumpang dengan orang yang begitu menyebalkan bagi Fio sejagat raya. Dengan terpaksa Fio duduk di belakang, ya mau gimana lagi, ada orang lain juga yang sudah duduk di depan, gini-gini juga Fio tahu sopan santun, ya kalau lagi sadar.
"Fi, sorry ya gak pake AC. Pacar gue lagi demen angin alami."
"It's okay."
"Kayanya kalian gak saling kenal padahal satu angkatan juga. Tapi emang beda fakultas, sih. Wajar aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
CHOOSE
Teen FictionMereka berbeda tetapi memiliki keinginan yang sama. Mereka berbeda dan membutuhkan satu sama lain. Dia Gema, orang bilang pria yang bucin banget sama Fio. Dia Fio, semua orang tahu wanita itu sangat angkuh. Ini adalah kisah Gema dan Fio yang jauh...