Saat Itu

52 5 2
                                    

Aku tidak menyesal. Aku senang.
Walaupun akan di akhiri dengan perpisahan, tetap saja.
Ada dia, kenangan manis yang tertinggal.









BRUAK






"LO JANGAN CARI MASALAH DISINI! MAU GUE KELUARIN LO DARI SEKOLAH INI?! INI SEKOLAH BAPAK GUE ASAL LO TAU?!" Pria berpakaian rapi berteriak, ketika dia berbicara, dia menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Lo pikir gue takut?" Balas pria yang lainnya, dia sudah babak belur.

Bukankah itu anak "tak terurus" di gerbang depan tadi? Me.. mengapa? — gue membatin. Banyak simbol tanda tanya yang berada di kepala gue.

"SINI LO!!" Pria berpakaian rapi mulai menghajar pria "tak terurus" itu bersama anak buahnya.

"Din... gue takut" Bella memeluk tangan gue erat.

Astrid pun berdiri dari kursinya

"STOP" dia berteriak, tetapi tidak ada yang mendengar nya.

Gue udah bener-bener ga tahan melihat mereka. Suasana menjadi rusuh. Pria tak terurus itu dihajar habis-habisan. Kasihan. Gue pun menghampiri mereka dengan niat untuk melerai.

"Udah, udah! Stop, Ini sekolah tau! Ga ada gunanya kalian.." sambil melerai, ucapan gue terputus.







BRUKK











Tumbukkan keras mendarat di pipi gue, sakit. Bella yang melihat gue di "tumbuk" sama anak buah si pria berpakaian rapi pun langusng menghampiri gue. Bella memeluk gue, gue menangis.

Mereka berhenti berkelahi. Semua hening. Pria berpakaian rapi itu menatap gue sinis, sedangkan pria "tak terurus" itu mencoba untuk menatap mata gue.

"Lo gapapa?" Dia bertanya dengan suara bass nya. Belum sempat gue jawab pertanyaan, Astrid menghampiri gue.

"DIN, LO GAPAPA?" Dia panik.

"Kita ke UKS ya..." Windy melanjutkan, dia ikut memeluk gue.

Setelah beberapa langkah kami keluar dari kantin, kami mendengar teriak Pak Budi. Dia marah sekali. Gue rasa, semua orang yang sedang berada di kantin bakalan kena sama Pak Budi.

Tiba tiba, ada yang memasuki ruang UKS. Dia pria itu, "tidak terurus."

Ibu UKS dengan sigap melakukan pertolongan pertama.

Suasana hening sampai dia membuka pembicaraan.

"Nama lo siapa?" Tanya dia dengan muka polosnya.

"Dian." Terkesan jutek, tapi gue tidak terbiasa berbicara dengan laki-laki. Gue cuma ga mau baper.

"Nama kita mirip, Gue Dion." Senyum simpulnya manis. Tapi tetap, aku tidak tertarik.

Suasana semakin hening ketika Astrid, Windy, dan Bella pergi ke kelas. Ajaibnya, kami berempat memiliki kelas yang sama, terlalu ajaib memang.

Tinggal kami bertiga di UKS. Gue, Dion, dan ibu UKS. Suasana menjadi sangat canggung.

"Lo suka makan kadal?" Dia memecah keheningan.

"AHAHAHA, Lo gila apa? Mana mungkin!" Gue tertawa terbahak-bahak. Gue lupa kapan terakhir kali gue tertawa seperti ini.

"Gue suka ketawa lo, lucu." Gue tersipu? Tidak! Muka gue langsung berubah, gue gak suka.

"Ooh." Balasan singkat gue, membuat keheningan menari-nari di ruangan itu.

Bukan apa-apa. Gue hanya tidak mau disakiti. Sudah cukup patah hati yang kemarin, ga perlu di tambah.

Pak Budi pun menghampiri kami, Pak Budi menyuruh gue kembali ke kelas, sedangkan Dion di antar ke ruang BK.

"Gue duluan" dia pergi meninggalkan UKS, sambil tersenyum.

Dia baik, tampaknya. Dia juga ramah. Gue heran mengapa dia bisa di "hajar" sama anak lain. Kasihan.

Gue hanya diam tidak membalas, tersenyum juga tidak. Gue pergi tanpa membalas senyumnya. Apakah hati gue udah mati? Entah lah, gue gak perduli.














Gaes!!! Jangan lupa Voment ya! Ditunggu!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Di - An - OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang