Rezia POV
"Plakkk... "
Suara tamparan itu menggema di telinga gue, bahkan terdengar sangat jelas.Jelas sekali kalau tamparan barusan sangat kuat dan menyakitkan. Bahkan yang mendengarnya nya pun akan merasakan ngilu. Gue sudah bisa menebak apa yang terjadi, tapi tetap saja gue gak bisa tinggal diam.
Gue langsung keluar kamar dan adek gue juga keluar. Kami menuruni tangga dan menuju sumber suara.
Sesampainya di bawah, kami dikejutkan dengan pemandangan yang tersaji di depan mereka. Mama gue terduduk lemas di lantai dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah segar.
Ya pemandangan ini memang sudah sering gue saksikan hampir 2 tahun belakangan. Tapi tidak pernah sampai separah ini, bahkan sudut bibir mama nya sampai berdarah. Selama ini papa hanya akan membentak mama dan mengatakan hal yang membuat mama sakit hati, tidak pernah lebih. Tapi apa ini
"Papa!!! " bentak gue
Kejadian 2 tahun yang lalu benar-benar membuat Papa berubah 180°.
Sebelum kejadian itu, papa adalah orang yang sangat penyayang. Tidak pernah berbicara kasar apalagi sampai meninggikan suaranya. Tapi sekarang, papa adalah orang yang sangat kasar. Entah apa yang terjadi antar mama dan papa sampai papa bersikap seperti itu ke mama, gua gak tau. Lebih tepatnya tidak diperbolehkan untuk tau.
Gue sama adek gue langsung menghampiri mamanya dan memeluknya. Sedangkan papa hanya berdiri berkacak pinggang dan menatap kami nyalang.
Tapi gue takut dengan tatapan papa. Gue malah balik menatap tajam papa tanpa rasa takut. Menurut gue papa itu benar-benar sudah melampaui batas.
Lagian gue udah biasa menerima tatapan nyalangnya yang seperti itu.
Tapi tidak dengan Revin. Ya nama adek gue Revin. Dia hanya diam ketakutan sambil memeluk mamanya erat dengan tubuh bergetarnya. Wajar, adek gua masih menduduki sekolah dasar. Gue takut kalau nantinya mental Revin terganggu karna masih terlalu dini baginya untuk melihat semua kejadian. Gue hanya bisa berharap agar kejadian ini tidak mengganggu mental Revin nantinya.
Satu kata yang dapat mengutarakan perasaan gue melihat kejiadian ini yaitu MUAK. Ya. Gue sudah sangat muak dengan semua ini.
Sudah cukup untuk semua ini. Gue udah gak tahan lagi. Papa benar-benar sudah keterlaluan.
Gue bangkit dari posisi yang tadi terduduk memeluk mama. Gue berjalan mendekat ke arah papa. Habis sudah kesabaran gue.
"Sampai kapan papa bakal berhenti bersikap seperti ini ke mama? " tanya gue murka ke papan.
Tapi papa hanya diam seperti tidak berniat untuk menjawab pertanyaan gue.
"Asal papa tau ya, papa benar-benar sudah keterlaluan. Apa papa belum puas nyiksa mama? " tanya gue dengan intonasi semakin meninggi.
"Kamu gak tau apa. Itu bukan urusan kamu. Kamu gak perlu ikut capur. Dasar pembunuh" jawab papanya murka.
Pembunuh. Itulah julukan keluarga gue untuk gue saat ini. Kesalahan fatal yang juga gue akibatkan 2 tahun yang lalu menambah kebencian papa. Ah iya bukan kesalahan gue, tapi kesalahan orang lain yang dilimpahkan sama gue. Hanya mama yang percaya sama gue. Hanya mama.
"Saya gak masalah kalau papa mau bilang saya pembunuh, toh memang itu yang kalian tau, bukan yang kalian lihat. Tapi jangan melayangkan tangan pada mama saya" ucap gue
Gue ga tau kenapa bibir gue menggunakan pola saya. Mungkin memang sudah sepantasnya gue menggunakan pola itu.
"Tutup mulut kamu Rezia! Dasar anak kurang ajar!!" bentak papa
KAMU SEDANG MEMBACA
I'M BAD
Teen Fiction"Gue tau kalau nantinya Gue cuma bisa nyakitin lo. Gue harap lo ga punya rasa apapun sama gue" -Rezia Dandelion "Hati gue yang memilih lo. Jadi gue bisa apa?" -Vandra Axelio Reandest Penasaran sama kisah mereka? Kuy cekidot~~~~~~