Sekarang, pukul 11 malam di pertengahan oktober. 2 minggu lalu, aku dilantik menjadi Pemimpin redaksi majalah sekolah. Sejak itu pula, waktu senggang ku berkurang. Setiap hari, yang kulakukan hanya bangun, sekolah, edit naskah, makan, dan tidur.
Tak ada lagi waktu untuk menonton film atau bersantai. Bila muncul hari libur, yang aku lakukan adalah tidur.
Keadaan Steve juga tak jauh berbeda. Minggu lalu Ia membisu selama 3 hari, pikiranku makin berantakan. Hingga akhirnya Ia menelpon, dan berkata Ia sedang dalam masalah, dan meminta maaf karena Ia tidak membuka ponselnya. Aku menghembuskan nafas lega, setidaknya Ia baik-baik saja.
Waktu berlalu, dan aku makin sibuk. Hubungan kami merenggang. Aku tak lagi mendapat kabar darinya setiap hari.
Terakhir adalah 2 hari lalu, saat Ia memberitahuku Ia akan pergi bersama teman-temannya selama akhir pekan.
Sekarang minggu malam, dan aku masih tak mendengar kabar darinya. Maka, aku memutuskan untuk duduk di balkon apartemenku, dan menunggu.
Hingga lagu "Soarin" milik Bazzi membuyarkan lamunanku. Beberapa minggu lalu, aku menetapkan lagu itu sebagai nada dering untuk Steve.
Mendengarnya, mau tak mau aku tersenyum samar. Rupanya Ia kembali dari trip singkatnya. Ku acuhkan dering itu, dan kembali menatap kota. Hingga panggilannya mencapai kotak suara.
"Hey, Scarlet. Aku baru kembali dari trip, setelah ini aku akan beristirahat dan kusarankan kau juga. Selamat malam Swettie" ucapnya.
Kini rahangku mengeras, dan bibirku mengerucut. Minggu ini adalah pekan ter-hectic bagi kami.
Aku sibuk dengan kegiatanku dan depresi yang mengancam, sedang Ia sibuk dengan urusannya. Sekalipun kami masih berbincang secara singkat, yang kemudian dibalas berjam-jam setelahnya.
Aku tersenyum masam. Semanis apapun ucapannya, aku tahu bahwa jiwanya lelah, aku tahu ada yang mengusiknya, karena caranya merangkai kata, caranya menghela nafas saat kami berbincang, memberitahuku bahwa Ia hampir menyerah, tapi Ia bertahan.
'Sama' pikirku.
Aku juga berjuang tuk lari dari jurang. Tapi aku hampir berhenti, menyerah pada depresi.
Hingga aku teringat akan tawanya yang melukiskan senyum diwajahku, dan aku kembali. Untuk berjuang sekali lagi, dengan harapan, kami masih di halaman yang sama. Walau sedikit kemungkinannya.
***
Waktu ujian semakin dekat, dan Steve kembali menghilang. Entah apa yang sedang dilakukannya, tapi Ia tak membalas satupun pesanku.
Aku melempar bantal ke lantai. Aku terlalu lelah untuk menjadi yang pertama yang mengirim pesan.
Maka, aku berjanji pada diriku sendiri, untuk tidak lagi mengutamakan hati. Karena jika tidak, aku akan frustasi lagi, dan kini Steve tak disini untuk menenangkanku. Ia sendiri sibuk dengan urusannya.
Jadi, aku memutuskan untuk mengistirahatkan benak dan menenangkan jiwa.
Sebesar aku ingin berbincang dengannya, aku harus mengutamakan kesehatan jiwa. Karena depresi adalah hal terakhir yang aku inginkan untuk aku alami.
Mungkin Diana benar. Tak seharusnya aku bergantung pada seseorang. Karena pada akhirnya mereka hanya akan mengecewakanmu.
Dengan berat hati aku berjalan ke kasur, dan menatap ponsel untuk terkahir kali hari ini.
Sekarang pukul 3 pagi, itu berarti aku hanya punya 2 jam tidur sebelum aku harus siap-siap untuk ujian.
Jadi, aku berbaring dan membiarkan kantuk menghampiri. Setidaknya aku dapat menemui Steve dalam mimpi, dan Ia tak akan pergi. Seperti yang dilakukannya belakangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bertahan atau Melepaskan?
Teen FictionKetika Scarlet Jackson pada akhirnya luluh dan meruntuhkan setiap benteng pertahanannya untuk Steve Dowler dengan keyakinan penuh bahwa Steve akan bertahan. Tapi apakah Steve benar-benar akan bertahan?. *Cerita ini berbasis pada pengalaman pribadi...