Part 4

8 0 0
                                    

 Waktu ujian sudah selesai. Tapi aku tak mendengar kabar dari Steve. Walaupun sosial medianya aktif, tapi pesanku tak juga mendapat balasan.

Dengan ragu, aku menatap layar ponselku. Bimbang, apakah aku benar-benar akan menelponnya, atau aku akan membiarkannya seperti hari-hari lalu.

Karena bagaimanapun aku takut. Takut akan kehilangan sesusatu yang menjadi alasan dibalik senyumku.

Ini minggu ke-2 sejak Steve menghilang tanpa kabar. Sudah menjadi kebiasaan baginya untuk menghilang kala masalah datang.

Namun ini kali pertama Ia diam selama lebih dari seminggu. Aku tak lagi dapat menunggu. 

Ia sudah punya banyak waktu untuk melakukan apa yang dirasa perlu, untuk menyelesaikan masalahnya sekaligus menenangkan diri.

Dengan gugup aku meraih ponsel dan menelponnya. Detik demi detik berlalu, dan harapanku terancam pupus. Hingga nada tunggu berganti menjadi suara yang kucari.

"Scarlet, apa kabar?" ucapnya

Aku hancur. Sekeras apapun Ia mencoba, kalimat apapun yang Ia katakan, aku tahu Ia berubah. Mungkin firasatku benar, untuk tidak menghubunginya.

Aku menarik nafas panjang dan menjernihkan suara.

"Hey, Steve, kabarku baik, sempurna" aku tertawa kecil. Berharap itu cukup untuk menyembunyikan kekecewaan.

"Baguslah" balasnya

Lalu sunyi, hingga aku teringat, aku belum menanyakan kabarnya. Walau aku yakin Ia baik-baik saja.

"Baik" Ia menjawab

Aku mengangguk, sadar bahwa Steve tak akan tahu respon apa yang aku berikan. Tapi aku terlalu kaku untuk berkata-kata.

"Dengar, maafkan aku tidak memberimu kabar. Aku hanya sedang banyak urusan, kuharap kau tak masalah"

Sialan. Tentu aku menganggapnya masalah. Gadis mana yang tenang, ditinggal tanpa kabar.

"Ya, tentu. Aku paham itu" jawabku

"Baiklah, Um, aku harus pergi, aku kabari kau lagi nanti, oke?"

"Ya, tentu, tentu saja"

"Sampai nanti"

"Bye" ucapku.

Sunyi. Steve sudah memutus panggilan suara, dan aku duduk terdiam. Memandangi lampu-lampu kota.

Hingga mataku meneteskan air mata.

2 minggu berlalu, dan Ia tak lagi mengenalku. Apapun yang kami bangun selama 3 bulan tak lagi bersisa. Hanya meninggalkan kenangan yang menggoreskan luka.

Apapun itu, sudah berkahir, dan aku baru menyadarinya. Selama 2 minggu aku bertahan. Berpikir bahwa Ia akan kembali seperti yang biasa terjadi.

Selama 2 minggu, aku terlalu terpaku pada harapan yang aku punya. Hingga aku tak sadar bahwa selama itu pula, aku berjuang sendirian.

Untuk sesaat aku merasa hampa, dan kecewa.

Luar biasa, bagaimana seseorang yang kau pikir dapat bertahan, dan telah melalui banyak hal bersama, dan orang yang sudah kau percayai untuk melihat hal terkelam dan terkacau dirimu, pada akhirnya melangkah pergi tanpa berpikir dua kali.

Malam itu, aku terjaga hingga pagi. Setiap aku menutup mata, aku teringat apa yang Steve katakan dan bagaimana Ia tetap tenang. Kurasa aku terlalu hancur untuk tidur.

Maka aku membuka laptop, dan menyalakan lagu.

Sejujurnya, sudah terbesit dalam pikiranku, bahwa hubunganku dan Steve sudah berakhir. Namun aku hanya tak ingin itu terjadi. Maka aku menguburnya dalam-dalam, berharap itu hanya pikiran ter-kelam.

Hingga malam ini.

Dengan nafas tersengal dan mata basah, aku duduk di karpet, bersandar pada tempat tidur. Aku mematikan ponsel, dan mengacuhkan semua sosial media.

Aku akan menenangkan diri dan membawa otak ku kembali. Aku akan merenungkan hal yang terjadi selama 3 bulan terakhir, dengan harapan, aku menemukan jalan keluar, agar aku tak lagi berantakan.

Bertahan atau Melepaskan?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang