Jakarta 2024
Biasanya di jam segini Hendra akan sibuk membereskan hall bekas latihan anak-anak didiknya. Kok yang berceceran, lantai lapangan yang setiap hari perlu di pel serta memperbaiki net lapangan yang kendor.
Ia sudah terbiasa mengerjakan itu semua sendiri. Sejak berdiri 6 tahun lalu, banyak alumni anak didiknya yang berprestasi di club masing-masing bahkan hingga masuk Pelatnas. Mengajar dan mengelola tempat ini sendiri. Uang pensiun yang tiap bulan ia dapatkan pun, juga ia gunakan untuk perawatan tempat ini.
Namun ada yang berbeda di sore ini... Ia tak sendirian. Di lapangan paling ujung, seorang pemuda membantu nya mengepel. Sudah sejak tadi Hendra melarangnya untuk merapihkan tempat ini... Ya sifat pemuda yang keras kepala itu tak pernah luntur.
"Aku merasa tersanjung sekali... Peraih medali emas mau mengepel lapangan,"
"Hehehe... Tahu nih lagi gabut aja, Koh,"
"Gabut atau lagi cari tempat merenung? Kebetulan tempat ini selalu terbuka buat atlet galau kaya kamu, Jay,"
Fajar, pemuda yang kini beralih untuk mengepel lapangan yang satu lagi. Ia tak menanggapi perkataan Hendra barusan. Ada benarnya juga dari ucapan senior nya itu, setelah kembali ke Indonesia dua hari yang lalu. Fajar layaknya orang hilang arah, padahal jadwal interview dan undangan makan untuk merayakan kemenangannya, memenuhi pesan di handphone nya. Tapi ia tolak semua.
Setelah selesai mengepel seluruh hall, Fajar numpang ke toilet untuk mencuci tangannya. Dirasa sudah bersih, ia pun kembali ke dalam hall untuk menghampiri Hendra. Seniornya itu duduk di bangku panjang samping lapangan.
"Nih... Upah ngepel,"
"Makasih, Koh,"
Fajar meneguk air mineral hingga sisa setengah nya. Hal yang sama juga dilakukan Hendra dan saat tangan kanan Hendra mengangkat botol minum nya, Fajar bisa melihat cicin yang masih tersemat pada jari manis Hendra.
"Koh..."
"Hmmm..."
"Dulu, pas ngelamar Bang Ahsan gimana?"
Hendra langsung menatap Fajar dengan sorot menyelidik. Fajar sempat merasa risih dengan tatapan itu. Rasanya seperti dia berbuat suatu kesalahan dan seniornya ini memaksa Fajar untuk mengakui kesalahan itu.
"Kamu emang mau ngelamar siapa, Jay?"
"Eh, nggak gitu Koh. Maksudnya pengen tahu aja gitu,"
Sebuah hembusan nafas keluar dari pria yang kini menatap jauh ke arah jendela yang sudah gelap. Memutar kembali memori itu, rasanya menyenangkan juga meskipun terselip kesedihan.
"Aku... Melamarnya dihari yang sama saat aku menyatakan perasaanku dan dia juga menyatakan hal yang sama padaku. Saat itu... Senja dan bukit... Adalah saksi bisu dari lamaranku... Tidak ada bunga atau rayuan gombal... Tidak ada resolusi kemenangan yang harus kami raih bersama... Aku hanya... Mengatakan...
... Aku ingin terus bersamamu dalam senang maupun susah, dalam suka maupun duka. Aku akan terus mencintaimu sampai kematian itu sendirilah yang membawa kita di keabadian,"
Fajar terpesona akan perkataan Hendra barusan. Ia tak pernah tahu bahwa orang kaku dan dingin seperti itu, bisa mengatakan hal yang lebih indah daripada sebuah rayuan.
"Selanjutnya kami pun menikah... Hidup bersama dan bahagia, meskipun... Kini... Dia sudah pergi namun hatiku selalu merasakan kehangatan cinta yang dia berikan... Sama seperti senja...
... Karena itulah... Aku hanya menunggu, hari dimana aku akan bertemu dengannya lagi... Ahsan, cucu tetanggaku dulu yang selalu menungguku untuk bermain bersamanya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Don't Love You (Side Story of There's No Other) | Fajar & Rian's Story
Roman d'amourCerita kapal lokal kedua, masih ada sangkut pautnya dengan There's No Other karyaku tentang Hendra sama Ahsan. Cerita ini akan menceritakan Fajar Alfian dan pasangan lapangannya Muhammad Rian Ardiyanto. Ini pure haluan saja ya 😁