Episode 3 (Lagi-lagi Dia)

151 7 0
                                    

1

Sewaktu pelajaran Matematika oleh Pak Maman, aku tidak bisa konsentrasi. Soalnya dia, si lelaki yang entah siapa namanya, masih bercokol dipikiranku. Siapa sebenarnya dia dan mau apa? Kenapa tiba-tiba aku seolah punya hutang budi kepadanya. Padahal jika dipikir-pikir, aku seharusnya cuek, ya seperti sifat aku ke lelaki yang lain.

Lantas, sekarang dia menyuruhku datang menyaksikan pertandingannya. Idih! Emangnya aku cewek apaan, mau disuruh-suruh sama orang yang ngga dikenal. Aku ngga mau. Aku harus punya harga diri. Cewek jangan terlalu mudah, agar tidak dibilang murah. Ya salah dia juga, kenapa dia bayarin aku, kenapa dia memilih naik angkot, kenapa dia ngga ambil ongkos aku, kok jadi aku yang harus punya hutang budi. Ngga. Pokoknya aku putuskan untuk ngga datang. Titik.

Bel istirahat berbunyi.

"Ke kantin yu." Ucapku ke Raya dan Lira.

"Ngga ah, aku udah dibekelin kok." Jawab Lira sambil menunjukkannya, "Tuh liat."

"Aku juga ngga ah. Mau minta ke kamu aja." Jawab Raya sambil senyum-senyum manis ke Lira

"Aku jajanin deh." Tegasku biar mereka mau temenin.

"Berangkat Lir." Ajak Raya ke Lira

"Tapi minum aja."

"No What-what."

Kadangkala kita harus berkorban demi mencapai apa yang kita inginkan. Oh iya, Lira adalah sahabat kami yang memang agak culun dan masih anak mamih. Dia sukanya baca, kecuali baca buku pelajaran. Aku kenal Lira karena Raya. Lira dan Raya sekelas waktu kelas satu. Akhirnya, secara tak langsung kita pun jadi berteman. Orangnya baik kok, tapi karena dia masih diawasin sama mamahnya jadi spektrum pertemanan kita tak sedekat dengan Raya.

Di kantin, aku pesan telor kalio sama tempe di kantin Bi Manah, itu makanan yang paling aku sukai di kantin ini. Telor yang dilumuri kuah kari, pokoknya mantap. Harganya pun terjangkau hanya 10ribu. Sementara Raya sibuk membandingkan harga satu mangkuk mie telor dan jus alpukat harganya sama saja, jadi dia meminta izin kepadaku untuk membeli mie telor setelah memberikan alasan yang logis tadi. Dan Lira hanya membeli air mineral saja, kan makannya sudah disiapkan di rumah.

"Oh iya Ra, sekarang ada tanding basket loh antara SMA kita dan SMA Berlian." Kata Raya disela-sela menyantap mi.

Aku sebenarnya sudah tahu. Tapi aku coba pura-pura ngga tahu hal itu.

"Wah?"

"Kita nonton yu."

Seketika nasi yang baru kukunyah, langsung termuntahkan lagi saking kagetnya. Dan kacaunya, muntahnya ke wajah Raya.

"Anjir, kenapa lu Ra?" Kata Raya karena muntahannya hampir kena ke mangkuk mienya.

"Ngga, keselek aja."

"Untung ga kena."

"Perasaan kamu ngga suka basket."

"Sekarang udah suka."

"Pasti ada cowok kan?"

"hmmmm, emang." Sambil tersenyum geli

"Siapa lagi Ra?"

"Kasih tahu ngga yah, inisialnya........ Rian."

"Rian?" Aku sama Lira berbarengan menjawab.

"Kemarin dia nembak aku."

"Apa?!" Secara tak sadar aku dan Lira berteriak berbarengan. Sampai beberapa orang di kantin menatap kita. Kita seolah jadi pusat perhatian.

Aku hanya bisa senyum-senyum malu sambil kembali duduk lagi.

Dia Bukan Dilan 1990Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang