CHAPTER 4: Janji

1.6K 240 47
                                    

Suara kunyahan terdengar memenuhi ruangan. Shiro dan aku duduk berhadapan di atas tatami. Sedari tadi kuberusaha menahan gejolak mual yang terus meronta minta dikeluarkan. Berbeda dengan Shiro yang terus menyumpit daging bakar buatannya seperti orang kelaparan.

"Kenapa tidak makan?" tanya Shiro datar. Lamunanku pun pecah dibuatnya.

"Aku ... tidak lapar," kilahku.

Alis Shiro terangkat sebelah, "Usotsuki. Aku baru menemukanmu hari ini. Kamu pasti lapar. Jadi makanlah."

"Aku tidak selera makan, Shiro-san. Luka-luka di tubuhku makin terasa sakit," balasku mencari alasan. Ya, memang benar, sih, seluruh luka dan memar yang ada di tubuhku belum diberi penanganan.

"Oh, kalau begitu aku akan memanaskan air untuk mengompresnya," ucap Shiro tanpa menaruh curiga sedikit pun. "Padahal kamu terlihat cantik dengan luka-luka itu."

DEG. Lagi-lagi kalimat pujian yang aneh. Meskipun aku amnesia, tetapi aku tahu betul semua yang dikatakan dan dilakukan Shiro itu tidak ada yang benar.

Ayolah, aku masih manusia.

"Eh, um, mohon bantuannya, Shiro-san," ucapku sembari berusaha menyembunyikan rasa takutku di baliknya.

Shiro mengangguk-angguk lalu kembali menyuapkan potongan terakhir dari daging bakarnya. Kemudian mulutnya kembali membuka, "Setelah kuobati, kamu harus makan."

Sial.

"I-iie, aku ... tidak mau," balasku. Kali ini suaraku terdengar bergetar. Huft, ketahuan sudah.

"Dengar, ini daging yang spesial. Setidaknya daging ini bisa menahan rasa laparmu hingga satu minggu lebih," ujar Shiro. Tubuhnya bergerak condong ke arahku hingga jarak di antara wajah kami menipis.

Aku menenggak salivaku dalam kengerian. Netra tajam Shiro membuatku sesak napas. Lalu, dengan seluruh keberanian yang masih tersisa, kepalaku menggeleng. Tentu saja, kutolak permintaan Shiro.

"Hm, perlu aku suapi ..., Kuro-chan?" tawar Shiro dengan nada penekanan ketika bibirnya menyebutkan namaku.

Jantungku bermarathon ria. Alhasil getaran di tubuhku pun sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Pasrah. Sepertinya aku akan berakhir tanpa bisa mengingat siapa sebenernya diriku ini.

Mataku terpejam. Siap menerima perlakuan Shiro yang memang di luar nalar. Namun, selang beberapa detik kemudian, kurasakan usapan lembut di puncak kepalaku.

"Shiro-san ...?" gumamku. Kelopak mataku kubuka sedikit.

"Gomen ne, kamu pasti takut dengan sikapku, ya? Sikapku memang seperti ini, tetapi aku janji tidak akan melakukan apa pun padamu." Tangan Shiro yang dipakai untuk mengusap kepalaku, kini bergerak ke belakang punggung lalu mendorongnya hingga wajahku bersentuhan dengan dada bidang pemuda itu.

Astaga, aku dipeluk orang gila. Namun, aku tidak dapat mengelak bahwa pelukan Shiro membuatku 'sedikit' merasa nyaman.

"Yakusoku? Kamu tidak akan melakukan apa-apa kepadaku?" tanyaku memastikan kalimatnya barusan.

"Hai, yakusoku," jawab Shiro. Pemuda itu kembali melepaskanku dari pelukannya. "Aku akan memanaskan air untukmu. Kalau mencariku, aku ada di ruangan paling belakang."

Aku mengangguk dalam kebisuan lalu memandangi punggung tegap pemuda berambut putih itu hingga dirinya menghilang di gelapnya lorong.

Tunggu dulu. Pintu besinya!

Pintu besinya belum kututup!

🕸

Aku berjalan tergesa menyusul Shiro. Hatiku kembali tidak tenang. Padahal baru saja pemuda gila itu berjanji tidak akan melakukan hal buruk apa pun terhadapku. Namun, aku tidak yakin, setelah ini dia akan memaafkanku.

Pasalnya, bisa jadi dua mayat di balik pintu besi itu merupakan sesuatu yang disembunyikan Shiro, kan? Dan sekarang dia sadar bahwa ada orang asing yang melihatnya. Matilah aku.

Langkahku berbelok mengikuti lorong. Suara langkah kakiku bergema ke seluruh ruang yang hanya memiliki lebar satu setengah meter ini. Kemudian, kudapati sosok pemuda berambut putih yang sedang berdiri mengamati daun pintu besi yang terbuka.

"Kuro," ujarnya. Pemuda itu tahu aku menyusulnya. "Apa kamu yang ...."

"G-g-gome--" Ucapanku seketika disela.

"Ah, muri da na. Tidak mungkin kamu melakukan hal nakal seperti ini, kan?" Shiro berbalik menghadap ke arahku sambil menyunggingkan senyum manis. "Apalagi sampai masuk ke dalam ruangan di baliknya."

"Hehehe," responku. Meskipun dia gila, tetapi pikirannya begitu positif, ya?

"Sepertinya pintu ini sudah rusak. Akan kuperbaiki nanti." Seketika Shiro memasang sebuah senyuman yang lebih lebar lagi. Jajaran giginya terpampang jelas, membuat bulu di tengkuk merinding.

 Jajaran giginya terpampang jelas, membuat bulu di tengkuk merinding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Author's Note:

Part ini dipublikasi karena minggu kemarin aku lupa update. He he he. Kuharap kalian atau siapa pun yang membaca ini, suka dan tetap bertahan dengan ceritanya ;)

ToriiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang