CHAPTER 6: Ruang Penyiksaan

1.5K 197 28
                                    

Di sinilah aku sekarang. Terbaring di atas meja yang sudah dilapisi futon usang. Seluruh anggota gerakku diikat kuat ke sudut-sudut meja. Pikiranku terus-terusan melayang pada kejadian satu jam yang lalu. Kejadian ... yang penuh dengan teror.

"Aku ... tidak bisa jadi pengantimu, Shiro-san," ucapku berusaha tegas.

"Hah? Kamu berani menolak sosok pahlawanmu yang sempurna tanpa cacat ini?" balas Shiro tidak terima. Tangannya yang semula memegangi kedua pipiku kini ia lepaskan dengan kasar. Akibatnya tubuhku pun agak tersungkur ke belakang.

"Hai, kotowaru," ucapku lagi. "Lagipula aku sudah tahu siapa dirimu yang sebenarnya!"

Tubuhku bangkit dari duduk. Kini aku berdiri menghadap ke arah tubuh Shiro yang masih duduk diam di atas tatami.

Tatapan dingin pemuda itu tidak pernah berhasil lolos dari pandanganku. Terus menusuk hingga ke dalam jiwa. Tatapan ... seorang psikopat.

"Shiro-san, aku tahu sedang berada di mana diriku sekarang!" ucapku lantang. Kuarahkan telunjuk ke depan wajah Shiro yang pucat.

"Oh, ya?" balas Shiro meremehkan.

"Desa Inunaki," ujarku dengan nada penekanan.

Setelah mendengarkanku, kelopak netra Shiro sedikit terbelalak. Bibir tipisnya agak membuka, seakan dirinya telah kehabisan kata-kata. Namun, beberapa saat kemudian, pemuda itu kembali memasang wajah datar.

Lalu, tanpa menunggu reaksi lebih lanjut darinya, kuungkapkan semua kesimpulanku setelah melihat berbagai macam bukti lewat koran lama dan foto usang yang kutemukan.

"Telah terjadi sebuah pembantaian brutal di desa ini dan sampai sekarang pelaku belum berhasil ditemukan. Yah, aku memang tidak ingat sekarang tahun berapa, tetapi jika di sini hanya ada aku dan kamu, maka ... tidak salah lagi ...," jelasku. Sengaja kuberi jeda di akhir karena sebenarnya aku tidak siap mengungkapkan teori yang ada di benak.

"Apa?" tanya Shiro datar. Pupil di netranya kembali mengecil.

"Shiro-san, kamu ... adalah pelaku pembantaiannya!" lanjutku sekaligus mengakhiri teori yang sedari tadi minta dikeluarkan.

Shiro berdecih kecil. Kemudian, bibirnya tersenyum miring dan lama-kelamaan terdengar suara tawa dari sana. Tawa gila yang membuat seluruh pertahanan diriku hancur.

Dengan cepat, tubuhku pun kembali duduk ke tatami. Di luar dugaan, ternyata aku benar-benar tidak siap menghadapi iblis yang bersemayam di dalam diri Shiro.

"Baka~!" ucap Shiro. Tubuh pemuda itu berdiri. Dari posisiku, sekarang dia bagaikan seorang majikan yang siap menyiksa budaknya.

"Jadi memang benar," ucapnya, "kamu menyusulku ke rumah jagal itu, ya? Bahahaha ...!!"

Seluruh tubuhku gemetar. Sama sekali tidak ada yang bisa digerakkan. Hingga pada akhirnya, Shiro meraih lenganku kasar dan menariknya ke sebuah ruangan gelap.

Deritan pintu yang memekakan telinga terdengar. Tidak seperti ruangan lainnya, tempat ini tidak menggunakan pintu geser.

"Shiro-san ...," gumamku tersekat tatkala seorang pemuda bersurai putih memandangiku dingin di sebelah meja. Wajahnya menunduk, menghalangi satu-satunya cahaya yang dapat kulihat dari posisi saat ini.

"Kuro-chan, ini adalah hukumanmu," ungkapnya. "Namun, aku akan memaafkanmu jika dirimu mau memakan ini."

Shiro berbalik sebentar. Tangannya meraih sebuah piring dari meja yang ada di sebrang. Kemudian, pemuda itu menunjukkan kepadaku apa yang ditampung piring tersebut.

Sial. Daging itu lagi.

"Kamu sudah berjanji bahwa setelah aku mengobatimu, kamu akan makan, bukan?" tanyanya dingin. Jemari kanannya dengan lincah menyumpit salah satu potongan daging yang tersaji di sana.

"Aku tidak mau!! Aku tidak bisa makan daging itu!!" tolakku.

"Baka. Kamu tidak akan tahu sebelum mencobanya, gadis amnesia," ujar Shiro lalu mendekatkan potongan daging itu ke mulutku. Namun, tentu saja aku berusaha keras menolaknya.

"Buka mulutmu!" perintah Shiro.

Aku menggeleng cepat.

"BUKA!!" bentak Shiro kasar.

Aku dibuat terkejut oleh bentakannya. Pertahananku pun runtuh. Dan di saat yang bersamaan, seakan melihat celah, Shiro langsung menyuapkan daging itu ke dalam mulutku.

"Sekarang kunyah," ujar Shiro sambil melayangkan tatapan dingin.

Diriku kembali menggeleng. Kali ini diiringi isakan tangis.

Shiro mendecih. Lalu dirinya menusukkan sumpit yang sedang digenggamnya ke salah satu daging. Aku membelalak kaget, seharusnya dia tak perlu melakukannya karena melanggar norma pemakaian sumpit. Semua orang di Jepang tahu bahwa sumpit yang ditusukkan ke makanan melambangkan kuburan seseorang.

Eh, tunggu. Shiro, kan gila.

GREP. Tangan kanan Shiro dengan cepat mengunci rahangku. Kemudian, dengan paksa pemuda itu membuat rahangku bergerak sehingga daging yang ada di mulutku terkunyah.

Dan akhirnya, dengan sangat terpaksa juga ... diriku menelannya.

🕸

Hari sudah malam. Sore tadi setelah aku dipaksa memakan habis semua daging yang disajikan Shiro, pemuda itu kembali ke ruanganku dan meletakkan sebuah lilin di sudut ruangan.

Sebelum benar-benar pergi, Shiro berkata bahwa besok dia akan melepaskanku. Huft, besok bagi orang gila itu, kira-kira datangnya kapan, ya?

Rasa takut dan stres menyerang. Bukan sepenuhnya karena perlakuan Shiro terhadapku, melainkan ketika kedua kalinya aku dipaksa untuk makan daging itu lagi, aku langsung dengan brutal melahapnya.

Kutenggak salivaku. Benarkah itu aku? Kenapa aku bisa ... memakan daging manusia?

Tiba-tiba di tengah pikiran yang semrawut, pintu kembali berderit. Meskipun aku tidak bisa melihat siapa yang datang, tetapi lewat bayangan yang timbul akibat cahaya lilin, aku tahu yang datang bukan Shiro.

Melainkan sosok anak kecil yang tengah menggenggam sebuah gunting besi.

Melainkan sosok anak kecil yang tengah menggenggam sebuah gunting besi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ToriiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang