Masih Tara

11.3K 884 10
                                    

Kami sarapan dengan berisik, sudah lama sekali rasanya perasaan seperti ini. Terakhir kali kami makan dengan suka cita adalah saat kami masih polos, saat Anita belum berbadan dua. Kami yang selalu berhasil kuliah di luar negeri jadi jarang berkumpul. Tapi ada kalanya ketika liburan akhir tahun kami menyempatkan pulang demi masakan mama dan wejangan papa yang sungguh akan kami rindukan di masa mendatang.

Tara bangun dengan suasana hati yang buruk, sepertinya mimpi buruk masih menghantui. Tara masih harus meminum obat dokter dan akan kembali kontrol 9 hari lagi. Aku mendapatinya menangis sesenggukan di kamarnya. Ia memelukku dan mencari pria besar yang disebut sebagai ayah.

"Shhh.... Bunda disini, nanti ayah akan menjemput kita, itu hanya mimpi buruk sayang"

"Aku berkelahi dengan anak-anak nakal yang mengataimu bund, tapi ayah melindungiku dan membiarkan batu besar itu menimpa kepalanya yang berdarah" Tara bercerita dengan cara yang tak biasa. Ini bukan Tara yang ku kenal.

"Oh sayang, kamu lupa baca doa ya tadi malam?" Aku mengelus punggungnya. Gamma ada di pintu kamar Tara melihat semua. Gamma pasti sudah mengerti kenapa aku bersikeras tinggal bersama Big D di Singapura laih-alih bersamanya di apartemen Gamma.

"Mandi dulu terus sarapan ya?" Tara enggan beranjak, tapi aku harus mengusahakan semua berjalan normal seperti saran dokternya. Gamma memberi kekuatan lewat tatapan dan lengkung bibirnya.

"Sini, duduk dekat kakek" papa memanggil Tara, Tara hanya terus memeluk lenganku.

"Kenapa?" Mama bertanya lewat isyarat bibir, yang rupanya mewakili pertanyaan pada kerutan dahi Anita terhadap putranya.

"dia kangen ayahnya." Aku mengambil roti untuk ku panggang. Tara tak suka makanan berat buat sarapannya. Tara terus merengut tak mau jauh dariku. Tas punggungnya sudah bertengger di belakang tubuhnya.

Papa terkekeh, tak tahu kalau Tara serius ingin Pak D jadi ayahnya.

"sini sama om Gamma."

"Nggak"

"Huhh Bocah, kenapa sih?" Gamma terus menggoda Tara.

"Gara-gara Om Gamma Bunda dan Ayah membawaku ke dokter, dokter bilang aku harus menghilangkan kebiasaan berkelahi ku." Semua orang yang ada di meja makan tertawa.

"Bund... Pak D ada di depan?" Mbak Sri mengabarkan. Aku berdecak kesal. Little D sudah meloncat-loncat gembira menyambutnya ke depan.

"Kenapa Maara, dia menyukaimu. Aku tahu karena aku juga pria"

"Diam, Gam" aku terus melanjutkan memanggang roti milik Tara. Tapi sungguh, telingaku sudah memerah, aku malu pada papa dan mama.

"Sepertinya dia tipe pria yang sanggup membelikan kapal pesiar dan bungalow kalau sudah jatuh cinta, ya" aku berbalik mendapati semua orang menatapku penasaran.

"Gamma gila" aku meringis melihat ke arah papa. Tapi papa malah tersenyum. Dan Anita malah menggodaku dengan menyenggolkan pundak mungilnya ke pundakku.

"Mama lebih mempercayai Dirgantara daripada Fredy, sayang" aku sedikit kaget dan berdebar. Tak mengira keluargaku seterbuka ini kepada Dirgantara, mengingat hubungan Anita dan Sam, membuat Sam tak mudah dimaafkan oleh papa dan mama. Namun, justru anggukan kepala papa ke arahku cukup membuatku lega berjalan menyambut Pak D yang rupanya telah menenangkan Tara yang sedang menangis dalam gendongannya.

"Its, ok. Its just bad dream, not real" Pak D terdengar bergumam di telinga Tara. Ia menyambutku dengan tangannya yang lain, lalu meraih kepalaku dan mengecup dahiku sekilas. 

Maara MaretaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang