Maara Marita

28.8K 1.9K 18
                                    

"Hallo.... Lama ya, aku nggak nulis.( buat pembaca lama) Bener-bener dunia nyata menyita waktuku, kawans. Kemauan nulis hilang gitu aja, ditambah waktu yg ga ada. Malam hari udah kecapean dulu sebelum merangkai jalinan kalimat sekedar pengusir jenuh.

By the way (buat pembaca baru) .... Episode pertama sampe empat masih bikin boring. Tapi wajib dibaca biar kalian ngeh sama ceritanya. Nah episode lima mulai deh roman picisannya kerasa hehe....

Baca cerita lain juga ya...

@_@


"Bun... Aku pulang lebih awal, guru-guru pada rapat" Itu putraku. Aku membekalinya ponsel demi memudahkan komunikasi kami. Meskipun aku membatasi penggunaannya.

"Oke sayang, pak supir akan menjemput ya. Jangan kemana-mana. Seperti biasa ya, tunggu bersama pak satpam" Aku selalu gemas dengan sikap acuh tak acuhnya.

"Hmm..." Si dingin hanya berdehem. Entah gen dari mana yang ia bawa. Dalam keluarga kami tak ada yang bersifat demikian dingin. Sepertinya murni membawa gen ayah biologisnya.

Rambut kecoklatan, kulit terlalu putih untuk orang Indonesia, dan jangan lupakan bola mata abu-abunya. Ia anak bule yang lahir dari rahim adikku, Anita Oktavia yang sekarang sudah mulai bangkit menata hidupnya. Meskipun ia enggan berinteraksi dengan putraku. Tapi aku memakluminya. Papa dan mama sudah mulai menerimanya lagi sejak peristiwa 8 tahun lalu, saat Ia pulang dengan perut besar tanpa seseorang yang harus bertanggung jawab.

Nita menangis tergugu sambil menundukkan kepala kala itu. Satu tangannya memegangi perut buncitnya. Gama adik pertamaku mengabariku untuk segera pulang karena mama pingsan. Aku semakin shock saat langkahku harus terhenti di depan pintu, menyaksikan papa menampar pipi mulus Nita yang tengah berbadan dua. Aku menarik benang merah penyebab mama pingsan adalah si bungsu.

Gama Aprilio tengah mengeraskan rahangnya dan berusaha membangunkan mama dibantu asisten rumah tangga kami. Sementara aku berjalan cepat merengkuh Nita dan menjadikan tubuhku tameng dari amukan papa.

"Jangan lindungi anak kurang ajar ini Maraa!"
"Pergi dari sini anak tak tahu malu"
"Papa kecewa sama kamu Nita!"

"Maara! Jangan bela dia, sudah cukup ia selalu merecoki kita!" Itu ucapan adik perkasa ku. Ia selalu tak pernah akur dengan si bungsu. Jarak Gama dan Nita hanya 1 tahun beberapa bulan. Papa dan mama sering sekali memakaikan pakaian kembar untuk mereka hingga Gama menjadi risih dan merusuh. Sementara jarak Gama dan aku 4 tahun, menjadikan aku kakak panutan bagi kedua adikku. Namun, saat emosi menguasai adikku yang terlalu jangkung itu tak segan memanggilku dengan nama saja.

Itu sebagian kecil ucapan keluarga kami menggambarkan kecewa pada Nita. Aku membawa Nita ke apartemenku. Apartemen yang aku beli bersama mantan tunanganku dan baru lunas 3 bulan kemarin, waktu itu. Bulan berikutnya aku pindah ke Surabaya karena kewajiban perusahaan dengan memboyong adikku.

Disana Nita melahirkan bayi tampan. Sejak itu aku bilang pada Nita bahwa aku ibu dari bayi itu. Ia tak pernah melahirkan dan harus melanjutkan hidupnya. Aku membiayai kuliahnya lagi di Jogja, tanpa campur tangan papa mama yang sudah terlampau kecewa. Beruntung pekerjaanku selalu mulus dengan gaji bagus. Bersyukur orangtua kami mampu membiayai kuliah kami keluar negeri. Sehingga aku dan Gama (yang waktu kejadian Anita tengah liburan semester) bisa menempati posisi penting di perusahaan yang kami lamar. Sehingga tak kesulitan membiayai kuliah Anita. Mengabaikan 2 tahun pendidikannya di Australia.

Aku menjauhkannya dari putraku demi kebaikan mereka. Bagaimana tidak, sejak awal Anita kecewa dengan hidupnya, kecewa dengan kekasihnya, berimbas pada kebenciannya kepada putranya. Sekarang si bungsu telah mendirikan restoran bersama temannya berlokasi masih di Jogja. Sedangkan aku sudah pindah tugas 3 tahun yang lalu dari Surabaya ke Jakarta kembali. Putraku sudah 2 SD dan diusiaku yang memasuki 33 tahun aku belum pernah menikah dan sudah cukup bahagia.

Maara MaretaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang