Dirgantara Mareeta Jillian

24.8K 1.7K 6
                                    

Dirgantara Mareeta Jillian, itu nama yang ku berikan untuk putraku. Kenapa ada namaku disana, karena hanya aku yang menginginkannya sebelum 3 tahun ini. Dulu papa tak memberi keputusan apapun. Gama justru ingin membawa calon bayi yang masih tidur nyenyak di pelukan rahim Nita untuk diberikan pasangan yang tak memiliki anak yang katanya temannya. Mama sama dengan papa, kecewa dan marah hingga membuang mukanya saat aku bertanya bagaimana kedepannya nasib bayi itu.

"Pergi Nita" desis papa, mata beliau memerah, kedua tangannya mengepal dengan otot-otot yang terus mengencang. Gama hanya bersedekap sama marahnya, kecewa dengan kelakuan adik kesayangan kami. Aku tau meskipun ia sering rusuh dengan Nita, tapi rasa sayangnya sama besar seperti Gama menyayangiku.

"Pa.... Nita tengah hamil, biarkan dia berada disini pa, bagaimana bayinya nanti" ya, disini hanya aku yang cemas.

"Dia sudah mengenal pria, seharusnya dia sudah bisa mempertanggung jawabkan perbuatannya." Papa berkata rendah, kali ini syarat luka, tangis mama semakin meluruh dengan bibi yang terus mengelus punggung mama menenangkan. Gama berkaca-kaca dan melempar tatapannya keluar cendela ruang keluarga kami yang semula selalu hangat.

"Tapi pa...." Aku mencoba terus agar adikku tak jadi diusir.

"Maara...!" Mama membentakku, tapi matanya melotot kearah Nita yang terus terisak dalam pelukanku.

"Biarkan dia mencari ayah dari bayinya!" Mama histeris dan kembali pingsan. Gama dan bibi sigap memegangi mama. Aku turut berteriak khawatir akan kondisi mama. Tapi, Anita terus memelukku semakin erat.

"Biarkan dia menerima konsekuensi perbuatannya. Aku tidak mau lagi mendengarmu terus membelanya" Gama melanjutkan dengan perhatiannya terus kepada mama. Memijit jempol mama agar segera sadar. Bibi berusaha mengoleskan minyak.kayu putih di hidung mama berharap mama merespon.

Papa menangis tanpa suara, menuntun mama agar terus bersabar dan berserah diri kepada Tuhan.

"Pergi kamu Anita, papa tidak punya anak yang bisanya cuma mencoreng nama keluarga." Perkataan terakhir papa membuat si bungsu semakin jatuh.

Sehingga aku memutuskan sendiri. Aku yang akan merawat Anita dan bayinya. Siapa lagi yang akan melakukannya selain aku jika ayah bayi itu tidak mau bertanggung jawab. Bayi itu akan ku jadikan anugrah tentu saja, wanita yang diputuskan tunangannya ini karena dinyatakan sulit punya keturunan akibat insiden kelam beberapa tahun lalu, bertekad membesarkan bayi Anita.

Jadi, jika Nita tak mau merawat bayinya, aku yang akan merawatnya dengan baik. Toh bayi itu bukan orang lain, dia putra Nita yang berarti putraku juga. Dan aku yakin dengan berjalannya waktu Gama serta papa mama juga akan menerima kehadiran bayi ini.

"Papa kecewa sama kamu Dek, pergi kamu." Keputusan papa final.

Kami semua berduka untuk Anita. Kenapa harus Anita Tuhan, batinku frustasi. Terlihat mama mulai sadar. Aku segera menarik Anita dan koper besarnya. Anita diam dengan pandangan kosong hingga beberapa waktu kedepan.

Satu bulan kemudian aku pamit kepada mama dan papa untuk mutasi ke Surabaya. Selama itu juga aku tidak pulang ke rumah. Bahkan Mama mulai membatasi komunikasinya denganku tentang Anita. Tentu mereka tahu aku yang menyembunyikan Anita. Aku mengabari mama dan papa di bulan berikutnya saat Nita melahirkan dan aku memutuskan menjadi ibu tunggal untuk bayi itu.

Maara MaretaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang