aku benci bunda!

16K 1K 6
                                    

D kecil kuijinkan tidur di kamar yang katanya kamar barunya. Dengan syarat dia akan tetep pulang bersamaku nanti. Aku masih takut dengan segala kemunginan yang akan terjadi.

Aku duduk di ruang keluarga bersama 3 orang dewasa lain. Bersiap menerima penjelasan. Ku lihat foto keluarga yang tergantung diatas TV LED. Yang lebih pendek di sebelah Bu Rachel pasti ayah D, Samudra. Garis wajahnya sekilas mirip sekali dengan Pak D. Aku tak akan membeci pria itu tapi aku tetap akan memberi pelajaran suatu saat nanti.

"Ada yang ingin kamu tanyakan Maara?" Pak Paul bule tua berwibawa mengambil kesempatan berbicara.

"Banyak. Anda pasti tahu, apa saja yang ingin saya ketahui."

"Mewakili Samudra, kami mohon maaf. Maafkan kesalahan kami Maara" Aku diam, menunggu tuan rumah melanjutkan. Tidak baik memotong ucapan orangtua kan, meskipun sebenarnya aku ingin sekali.

"Seharusnya kami datang sejak dulu, tapi kami belum siap. Tidak ketika anak kami belum bisa dibanggakan. Tapi hari ini, kami bertekad akan memperbaiki kesalahan kami. Demi Little D yang juga berhak mendapat kasih sayang dari kami."

"Kami berfikir kamu akan lebih bijaksana. Kami mengenalmu jauh sebelum kejadian ini, dan membuat kami merasa lebih beruntung karena itu kamu. Kami yakin kamu tak akan emosional dan membeci kami sebelum kami menjelaskan dari sisi kami dahulu" aku merutuk dalam hati, sungguh tidak setuju dan mulai merasa gusar. Tapi aku berhasil menguasai diriku sejauh ini.

Aku berdehem sebelum unjuk suara.
"Pak Paul, aku sungguh tak menduga hari ini. Entah mimpi apa aku semalam..." Aku menjeda, mengusap wajahku dengan sebelah tangan. Belum cukup, aku memijit pertemuan ujung mataku, kenapa rasanya pening sekali.

"Aku berhak marah tentu saja, aku juga tidak tahu kenapa putra anda harus menjadi brengsek. Oh shiit, adikku memang bodoh." Aku merebahkan punggungku ke sandaran sofa. Tak tahu harus mulai dari mana. Di depanku Dirgantara  memalingkan muka kearah taman di depan ruangan yang kami gunakan sekarang. Pak Paul memijat tengkuknya yang mungkin jadi berat. Lalu nyonya Jillian terlihat mengusap matanya yang berair. Aku menghela nafas berat.

"Aku tak tahu akan bagaimana orangtuaku." Aku menggeleng membayangkan  reaksi orangtuaku.

"Anda tahu mereka tak menginginkan D dulu." Aku melanjutkan.

"Bahkan Gama adikku yang lain, ingin membawanya ke panti asuhan. Anita sampai pernah mencoba membawa baby D kami untuk bunuh diri...." Itu saat-saat terburuk dalam hidupku.

"Anda bisa bayangkan bagaimana saya menghadapi masalah sebesar itu sendirian?" Nampak sekali apa yang ku sampaikan membuat semua yang ada di ruangan ini tercengang. Namun....

"Bunda.....!" Suara D memotong kalimatku, aku menoleh secepat yang aku bisa, Tuhan... D-ku berkaca-kaca...apa dia mendengar semua? Putraku pria kecil yang terlalu pintar, kalau kalian tahu.

"Sayangku...." Aku segera beringsut mendekatinya, takut gerak tubuhku mengganggunya aku bergerak biasa tak tergesa tapi D-ku menghindarinya, bahkan pria kecil itu enggan menatapku.

"Jadi, aku bukan anak bunda....? Jadi karena itu aku tidak punya ayah?" D nampak shok sekali.

"D sayang... Siapa yang bilang begitu....?" Aku mempertahankan suaraku agar tidak bergetar. Aku tau cepat atau lambat ini akan melukainya.

"Jadi, Om Gamma dan kakek nenek  tidak menyukaiku?" Putraku jangan salah paham nak....

"Tidak... Tidak... Tidak seperti itu sayang... Please dengarkan bunda..." Aku berusaha meraih tubuhnya dalam pelukanku dan lagi-lagi pria kecilku itu mundur satu langkah menjauhiku.

"Jadi, aunty Anita itu yang melahirkanku? Jawab bunda!!!" Bayi yang ku besarkan itu membentakku penuh luka yang sepertinya akan sulit di redam. Tanpa diperintah air mata sialan ini meluruh, salah satu telapakku menutup mulutku agar tak terisak di rumah yang tak seharusnya kami berdua kunjungi ini.

Sementara, ketiga orang diruangan ini, sama kalutnya denganku, bingung harus berbuat apa.

"Little D, tak baik membentak Bundamu seperti itu" Pak D berusaha membujuk putraku dengan aksen yang lembut.

"Aku benci bunda! Aku tak mau lagi ketemu bunda!!" D kecil berlari, sepertinya menuju kamar yang diakuinya sebagai kamar baru di rumah ini. D lari dengan hati yang hancur, anak sekecil itu menanggung beban yang diakibatkan kebodohan orangtuanya di masa lalu. Aku menyesali kenapa ia harus mendengar apa yang tengah kami bicarakan.

Maara MaretaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang